Kamis, 27 Desember 2012

Islam Harus Mengayomi Agama Lain


Sebagai agama mayoritas Islam harus mengayomi agama-agama lainnya. Hal itu sudah menjadi kewajiban dan tuntunan agama untuk menjaga kerukunan antarumat beragama.

Hal itu dikatakan Suryadharma dalam sambutan acara reuni akbar Pondok Pesantren Darussalam Ciamis, Jawa Barat, Jumat (21/12/2012).

“Realitas yang ada kerukunan itu sifatnya dinamis dan fluktuatif. Kadang berada pada posisi stabil dan baik, kadang menghadapi masalah. Untuk itu, perlu ada pemahaman yang baik tentang hal ini. Dan kerukunan pun dapat berubah karena berbagai hal, apakah karena sengaja atau tidak, diciptakan oleh oknum tak bertanggung jawab,” kata Suryadharma.

Misalnya, lanjut dia ada yang menciptakan aliran baru, melakukan penodaan. Akibatnya timbul ketidakharmonisan di masyarakat. Ada yang memutarbalikan ayat, ada aliran sempalan dan semua itu merupakan dinamika yang harus disikapi dengan dewasa.

“Untuk pendidikan agama diharapkan menempati posisi strategis untuk menangkis berbagai persoalan ke depan. Termasuk upaya pemberdayaan ekonomi,” ujarnya.

Sebentuk Toleransi, Banser Turut Amankan Perayaan Natal


Sebanyak 200 anggota Barisan Anshor Serba Guna (Banser) ikut membantu mengamankan 94 gereja yang ada di Kabupaten Bojonegoro. Sikap organisasi di bawah Nahdlatul Ulama ini, bentuk bertoleransi terhadap pemeluk Nasrani yang merayakan Natal.

Para anggota Anshor mengkonsentrasikan 100 anggotanya mengamankan 12 gereja yang ada di Kota Bojonegoro. Sisanya, mereka menyebar di gereja-gereja yang terdapat di 28 kecamatan di seluruh Bojonegoro. Mereka berbaur dengan anggota polisi dari Kepolisian Resor Bojonegoro, yang juga mengamankan Natal dan Tahun Baru 2012-2013.

Ketua Anshor Bojonegoro, Hasan Bisri mengatakan anggota Anshor yang melakukan pengamanan mulai berjaga pada Sabtu hingga Kamis, 22 – 27 Desember 2012. Partisipasi pengamanan Natal di gereja ini, sudah berlangsung selama lima tahun terakhir. “Ini bentuk toleransi kita pada agama lain,” katanya, Ahad 23 Desember 2012.

Pada minggu 23 Desember 2012, sejumlah gereja di Bojonegoro sudah menggelar kebaktian. Seperti Gereja Santo Paulus di Jalan Panglima Sudirman, juga Gereja Jawi Wetan Timur Utara Jalan Teuku Umar, telah dipadati umat Nasrani. Di halaman gereja juga terpasang tenda cukup besar untuk menampung jemaat yang meluber sampai di halaman.

Sebelumnya, gabungan anggota intelijen yang berada di Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor Bojonegoro disebar mengamankan 94 gereja dan rumah yang dijadikan tempat ibadah kaum Nasrani. Minimal dua polisi menjaga gereja selama perayaan Natal dan Tahun Baru 2012 berlangsung.

Juru Bicara Kepolisian Resor Bojonegoro Ajun Komisaris Polisi Subarata mengatakan, anggota intelijen di seluruh Polres Bojonegoro dan 28 Polsek Bojonegoro sebanyak 194 orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 40 orang terkosentrasi di Kota Bojonegoro yang mengamankan 12 gereja. Selebihnya, menyebar di gereja-gereja yang berada di kecamatan-kecamatan seluruh Bojonegoro.

Rabu, 26 Desember 2012

Situs Dan Blog Yang Berafilaisi Dengan Jaringan Teroris Harus Di Tutup


Terkait pernyataan kelompok teroris yang bangga atas keberhasilan penyerangan terhadap rombongan patroli anggota Brimob yang termuat di weblog alansar007, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak pemerintah, dalam hal ini Kemenkominfo, untuk menutup segala situs dunia maya yang terafiliasi dengan kelompok teroris.

“Situs porno saja ditutup, Kemenkominfo jangan membiarkan situs seperti ini,” terang Komisioner Komnas HAM Siane Indriani seperti dilansir Detikcom.

Siane merupakan komisioner yang menyelidiki kekerasan di Poso. Dia juga menyampaikan penyebaran kebencian dan paham kekerasan terkait konflik Poso lewat dunia maya harus dihentikan.

“Situs ini bisa dilacak. Jangan menggunakan lagi kekerasan,” imbuh Siane yang hingga saat ini masih berada di Poso.

Sementara itu anggota Komisi III DPR RI, Aboe Bakar Al-Habsy, mengatakan pemerintah harus melakukan penelusuran keterkaitan hubungan antara penembakan dan keberadaan situs tersebut.

Sebelumnya, weblog Alansar007 yang mengusung slogan Sariyyatu Tsa’ri Waddawaa’ (yang artinya kurang lebih operasi balas dendam sebagai obat luka), menyebut serangan yang menewaskan 4 anggota Brimob dan melukai 2 lainnya saat melakukan patroli di Desa Tambarana, Poso Pesisir, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Kamis (20/12/2012), sebagai balas dendam atas aksi Densus 88 yang dinilai kerap menzalimi mereka.

Berikut petikan pernyataan perihal aksi penyerangan terhadap rombongan patroli Brimob yang dimuat dalam weblog tersebut.

“Sungguh kabar yang melegakan kita semua, di mana para Mujahidin Indonesia Timur dengan Idzin Allah Ta’ala berhasil melakukan serangkaian amaliyah di wilayah Poso dan sekitarnya, berikut Informasi yang bisa kami himpun hingga saat ini :

Amaliyah Penembakan terhadap Para Thaghut di Desa Kalora, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, di mana Para Thoghut mereka membikin markas baru di desa tersebut, di desa yang sebelumnya mereka membunuh Seorang Ustadz Mujahid yang Mulia, Ustadz Muhammmad Khoiri S.Sa. Dalam Amaliyah ini menewaskan 2 Tentara Thoghut laknatullah dan melukai 3 lainnya, yang kini langsung dibawa ke RS Poso 2 orang dan RS Parigi 1 orang.”

Ajak Dialog Kelompok Radikal!

ilustrasi

Strategi represif aparat tidak membuat kelompok-kelompok radikal jera dan berhenti melakukan aksi kekerasan. Sebaliknya malah kelompok radikal sekarang mengincar institusi kepolisian sebagai bentuk balas dendam. Maka strategi yang harus dikedepankan saat ini adalah langkah preventif melalui dialog dengan kelompok-kelompok radikal.
Pendapat ini dikemukakan oleh Guru Besar IAIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Dr. Syafiq Mughni. Menurut dia, komunikasi dengan kelompok radikal penting, namun polanya harus produktif, tidak dengan salah satu pihak memanfaatkan pihak lain untuk kepentingan jangka pendeknya, melainkan demi kepentingan perdamaian bangsa.
“Pemerintah memiliki peluang dan media untuk berkomunikasi dengan kelompok manapun  di negeri ini. Namun polanya tidak boleh manipulatif,” tandasnya kepada Lazuardi Birru beberapa waktu lalu.
Dengan pola tersebut, lanjut Syafiq, pemerintah bisa mencegah kelompok-kelompok radikal ini untuk secara leluasa menyebarkan ajaran kekerasannya, sekaligus menghambat mereka bertumbuh menjadi kelompok teroris.
Selain itu, dalam proses komunikasi itu, pemerintah harus melibatkan Ormas-ormas tradisional seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Nahdlatul Wathon, dan lainnya. Pasalnya, Ormas Islam tersebut hidup dalam keseharian masyarakat.
“Ormas bisa berfungsi mencegah benih pertumbuhan radikalisme baik pada pada ranah intelektual maupun kultural. Banyak orang tidak sadar bahwa bibit terorisme itu tumbuh ketika kelompok mayoritas mengancam bahkan menyerang kelompok minoritas. Bibit terorisme paling dasar itu kerapkali hadir di depan mata kita tanpa disadari. Dan itu menjadi tugas ormas dalam melakukan pencerahan,” tandas Ketua PP Muhammadiyah ini.
Namun yang tak kalah penting, sambung dia, adalah penegakan hukum terhadap kelompok-kelompok yang melakukan aksi main hakim sendiri. Pasalnya, jika aksi kekerasan mereka dibiarkan, itu membuka peluang pelanggaran hukum yang lebih besar seperti seperti teror pengeboman.

Songsong Tahun Baru, Umat Islam Diharapkan Eratkan Ukhuwah Islamiyyah


Fragmentasi umat Islam ke dalam berbagai macam aliran adalah fenomena yang masih sulit diterima kalangan internal umat Islam sendiri. Terlebih jika yang membedakan adalah hal-hal krusial bagi aqidah Islam kebanyakan. Misalnya kehadiran aliran Ahmadiyah dianggap sebagian kalangan muslim sebagai duri dalam daging dan dapat merusak agama yang di bawa Muhammad SAW.

Di tahun mendatang yang sebentar lagi akan dimasuki ustadz Didin Hafidhuddin mengatakan, umat Islam dituntut untuk selalu merapatkan barisan guna menghindari isu-isu dari luar yang dapat memecah kerukunan dan mengacaukan stabilitas kehidupan bangsa.

Persatuan umat hendaknya tidak dilupakan meskipun perbedaan ditemukan di sana-sini. Islam adalah agama mutakhir, yang tidak gagap ketika bertemu keberlainan dan perbedaan.

Ketua Umum BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) ini juga mengungkapkan bahwa, perlunya suatu organisasi yang bertugas dan saling bekerjasama guna meredam setiap isu sesat, sedangkan yang lain terus membangun umat dari segala bidang.

Kamis, 20 Desember 2012

Kelompok Radikal Butuh Kanalisasi Ekspresi


Dalam sebuah perbincangan dengan Lazuardi Birru, Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab, pernah mengutarakan bahwa maraknya aksi teror di Indonesia lantaran tidak adanya kanalisasi semangat jihad pemuda-pemuda muslim Indonesia.

“Dahulu pemuda-pemuda Indonesia bisa membantu negara-negara muslim lain yang sedang berperang seperti Afghanistan. Namun sekarang hal itu dilarang oleh pemerintah,” ujar Rizieq. Ia mengibaratkan hal itu seperti anak kecil yang menyulut mercon di dalam kamar lantaran dilarang bermain petasan di luar halaman rumah.

Namun argumentasi itu dibantah oleh ketua badan pengurus SETARA Institute, Hendardi. “Apa betul pada zaman Soeharto pengiriman milisi sipil ke luar negeri itu dibebaskan? Itu dilarang juga kok,” tandasnya.

Ahli hukum yang tak pernah mengenyam bangku pendidikan hukum secara formal ini memang setuju bahwa kelompok radikal di Indonesia membutuhkan kanalisasi ekspresi di negeri ini, tapi itu diwujudkan dengan media lain, organisasi sosial politik misalnya.

“Di alam demokrasi, jika kelompok masyarakat tertentu ingin bertarung untuk memproduksi kebijakan publik yang sesuai dengan aspirasinya maka silakan bertarung melalui organisasi politik. Saya kira pemerintah harus memberikan ruang kepada kelompok-kelompok radikal untuk melakukan itu,” ujarnya.

Jika mereka enggan dan bersikukuh menolak proses demokrasi, lanjut Hendardi, negara harus bisa menjelaskan kepada mereka bahwa kekerasan tidak bisa ditoleransi. Tugas negara adalah mengelola semangat berlebihan suatu kelompok hingga menjurus pada tindak kekerasan dengan cara damai.

“Persoalannya, seringkali aksi kekerasan mereka dibiarkan sehingga menyebabkan mereka tidak berminat masuk ke partai dan lebih suka menyalurkan ekspresinya di jalanan,” tegas mantan Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) itu.

Dalam hematnya, pembiaran negara terhadap praktik-praktik intoleransi oleh kelompok radikal menjadi salah satu akar tumbuh suburnya praktik terorisme.

”Ketika tidak ada penghukuman terhadap aksi-aksi radikalnya, berarti tidak ada efek jera. Maka pelaku ingin melakukan hal yang sama atau bahkan lebih dari itu karena merasa tidak dihukum,” tandasnya.

Sumber : Lazuardi Biru

Selasa, 18 Desember 2012

Indonesia Akan Jadi Salah Satu Kekuatan Dunia


Indonesia bersama negara-negara berkembang lainnya diperkirakan akan memiliki peran dominan di bidang ekonomi dan politik pada 2030, mengambil alih peran negara-negara barat. Berdasarkan hasil studi Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat dalam laporan “Global Trends 2030: Alternative Worlds” disebutkan pengaruh negara-negara barat akan semakin menurun seiring stagnasi pertumbuhan yang mereka alami.

Seperti dilansir Business Times, 17 Desember 2012, Asia diperkirakan akan melampaui Amerika Utara dan Eropa dalam ukuran produk domestik bruto, jumlah populasi, belanja militer dan investasi teknologi. Dewan Intelijen Amerika menyediakan informasi bagi komunitas intelijen negara itu. Mereka menyebutkan prospek ekonomi dunia akan semakin tergantung pada posisi negara berkembang, yang dipimpin Cina, India, dan Brazil.

Pemain-pemain di kawasan seperti Indonesia dan Korea Selatan di Asia, Columbia dan Meksiko di Amerika Latin juga akan menjadi sangat penting bagi ekonomi global. Buktinya negara-negara berkembang menyumbang lebih dari 50 persen pertumbuhan global dan 40 persen dari investasi global. Dewan Intelijen menyatakan data itu bisa berpotensi meningkat sehingga memberikan tantangan ketidakstabilan ekonomi global.

“Kontrasnya pertumbuhan yang cepat di negara-negara kawasan itu membuat ketidakseimbangan global dimana menyumbang terjadinya krisis finansial pada 2008 dan sistem internasional,” ungkap laporan itu.

Pertanyaan pentingnya, tambah laporan itu, meningkatnya ketidakpastian akan mengakibatakan rusaknya sistem global ataukah pengembangan beragam pusat pertumbuhan bisa membuat daya tahan ekonomi semakin meningkat.

Sementara banyak negara barat sedang memastikan bahwa pelambatan ekonomi yang mereka alami saat ini karena dampak krisis finansial di 2008 dan tidak akan semakin terperosok lebih lama. Namun beberapa negara seperti Indonesia mencatatkan pertumbuhan dan harus konsentrasi agar perkembangan ekonomi berkelanjutan dan menghindari jebakan pendapatan kelas menengah (middle income trap). Kondisi di mana pendapatan per kapita masyarakat Indonesia tidak akan bisa tumbuh seperti pendapatan di masyarakat negara maju.

“Untuk menghindari kondisi itu, Indonesia harus mempertimbangkan untuk menerapkan perubahan yang luas pada peran lembaga politik dan sosial,” ungkap Dewan Intilejen.

Ekonomi Indonesia telah tumbuh diatas 6 persen dalam beberapa tahun terakhir sehingga mendorong pendapatan masyarakat per kapita menjadi lebih dari US$ 3.500. Sebagai perbandingan pertumbuhan Amerika hanya separuhnya dari Indonesia sementara beberapa negara di Eropa justru berada dalam resesi.

Dengan diluncurkan program masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI), pemerintah Indonesia tampaknya melihat pesan dari Dewan Intelijen secara serius. Proyek pembangunan infrastruktur senilai Rp 4.000 triliun tersebut akan membantu Indonesia menjadi negara denga ekonomi terkuat pada 2025.

Sumber: Tempo.co

Radikalisme Tumbuh Pesat Karena Tiga Faktor


Radikalisme tumbuh pesat disebabkan oleh tiga hal, yaitu karena ideologi, situasi sosial (ketidakadilan, red) dan provokasi. Ketiga hal yang menyebabkan suburnya radikalisme tersebut dapat berujung pada tindakan terorisme. Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Moderate Muslim Society (MMS) Agus Muhammad.

Ia mengistilahkan ideologi sebagai bibit, situasi sosial (ketidakadilan, red) sebagai lahan atau ladang, dan provokasi sebagai pupuk. “Radikalisme yang kemudian berkembang menjadi terorisme, itu berawal dari adanya ideologi atau gagasan bahwa dirinya paling benar, ajaran dia yang paling benar. Dan biasanya, orang tersebut menganggap ajaran lain salah,” kata Agua pada Lazuardi Birru, di Jakarta.

Biasanya, kata Agus, orang yang terinveksi pemikiran radikalisme ini selalu berpikir hitam putih, yang ada di benaknya hanya benar dan salah. “Keyakinan seperti ini mengingkari realitas, termasuk terhadap keyakinannya sendiri,” tegas alumni Fakultas Syariah IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.

Menurut Agus, keyakinan yang benar hanya milik Allah. Dan Allah nanti yang akan menghukumi di akhirat nanti. Masalahnya, lanjut Agus, mereka kemudian menjadikan dirinya seolah-olah seperti Tuhan. Karena merasa dirinya paling benar, kata Agus, biasanya mereka mengajak, mengkampanyekan, bahkan tak sedikit yang menggunakan cara-cara pemaksaan, kekerasan, bahkan yang paling vulgar melakukan cara melakukan pengeboman, seperti yang dilakukan oleh kelompok teror.

Senin, 26 November 2012

Pancasila Teruji Mengikat Keberagaman Bangsa


Perdebatan, pertentangan, ketegangan dan kontradiksi merupakan dialektika sejarah yang selalu muncul dalam kehidupan nyata. Hal tersebut diungkapkan Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Dr Abdul Munir Mulkan.

Ia mencontohkan perdebatan dan kontradiksi dalam menyikapi dasar negara Indonesia. Menurut dia, Pancasila sebagai ideologi negara melewati fase panjang dan telah teruji mampu menjadi solusi dari keberagaman dan kemajemukan bangsa Indonesia.

“Pancasila dan UUD 1945 yang kini dijadikan dasar konstitusi negara tidaklah muncul secara tiba-tiba. Ada proses sejarah yang melatarbelakanginya berupa tarik-ulur kekuatan-kekuatan yang ada pada waktu itu,” kata Mulkan pada Lazuardi Birru.

Meskipun kata mufakat sudah sedemikian bulat, lanjut Mulkan, Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara masih sering mendapat ancaman dari kelompok yang tidak puas terhadap dasar negara tersebut. Dalam sejarah negeri ini, tidak sedikit kelompok yang ingin merubah dasar negara menjadi Negara Islam, seperti kelompok Darul Islam (DI). Tak heran jika saat ini masih ada kelompok yang ingin merongrong dasar negara yang sudah menyejarah itu.

Fenomena seperti fundamentalisme, radikalisme dan terorisme adalah representasi kontemporer dari ketidakpuasan terhadap dasar negara tersebut. “Begitu banyak ekspresi ketidakpuasan terhadap negara yang dilakukan oleh kelompok Islam tertentu. Sebut saja di antaranya aksi-aksi yang dikomandoi Kartosuwiryo, Kahar Muzakkar, Daud Beureueh hingga Imam Samudra dan Abu Bakar Ba’asyir,” demikian Mulkan menjelaskan.

Menurut Pengamat Sosial Keagamaan ini, fenomena semacam ini belum pernah dikoreksi secara komprehensif oleh umat Islam. Bahkan dia menyimpulkan bahwa pemahaman-pemahaman keislaman yang radikal masih memikat kalangan muslim di Tanah Air.

Gerakan radikalisme di Indonesia masih marak. Hal ini karena reinterpretasi teks-teks suci terkunci rapat dan cenderung tekstual. Mulkhan menyatakan, di dalam mindset kelompok tertentu, penafsiran baru bukan hanya tidak diperlukan tetapi tidak diperbolehkan.

Pengelolaan Keragaman Indonesia Harus Tepat


Pakar konflik dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Mohammad Nur Kholis Setiawan mengatakan pengelolaan keragaman budaya dan agama di Indonesia perlu dilakukan dengan dasar konsep yang tepat. Ia menilai konsep pengelolaan keragaman yang tepat membutuhkan pemetaan komprehensif termasuk pada keragaman yang muncul akibat modernisasi.

Menurut Kholis pemetaan itu harus didasarkan pada perspektif yang menilai Indonesia merupakan lahan subur pertemuan berbagai peradaban besar dunia. Pertemuan berbagai peradaban besar ini mendapat dukungan penuh setelah beragam jenis agama besar dunia juga ikut masuk ke Indonesia.

“Tingkat keragaman budaya Indonesia merupakan tertinggi di dunia,” kata Kholis saat menyampaikan pidato pengukuhan guru besarnya bertema ‘Tafsir Al-quran dalam Konteks Keindonesiaan dengan Pola Pendekatan Tematik Kombinatif’ di  UIN Sunan Kalijaga, Selasa (20/11/2012).

Dia menilai kondisi keberagaman yang terbentuk dalam proses sejarah panjang itu menjadi peluang besar banyak pihak yang ingin memunculkan konflik sosial tajam di Indonesia. Namun, apabila keragaman itu terkelola dengan baik, akan menghasilkan peradaban kebudayaan tinggi.

“Sejarah sudah membuktikan masyarakat Indonesia bisa hidup berdampingan dalam situasi keberagaman budaya yang tinggi sejak lama, ini menjadi modal yang baik,” kata dia.

Kholis menegaskan keragaman merupakan Sunnatullah. Karena itu, kebersamaan merupakan bagian usaha untuk untuk merawat anugrah yang maha kuasa ini. “Selama sejarah manusia, keragaman bisa jadi sarana saling tukar jasa keahlian dan pemikiran,” ungkap dia

Dia menambahkan keragaman Sunnatullah sudah mendapat legitimasi dari Al-quran. Makanya, umat Islam harus memperhatikan prinsip itu untuk menciptakan kohesifitas yang menjadi dasar pengelolaan keragaman.

“Kita mesti memikirkan upaya pengelolaan keragaman berbasis nilai-nilai keislaman demi masa depan generasi bangsa mendatang,” kata Kholis.

Sabtu, 17 November 2012

Pengamat: Kepolisian Menjadi Target Teroris


Pengamat terorisme, Mardigu Wowiek Prasantyo, mengatakan bahwa institusi polisi telah menjadi target utama para teroris dalam melakukan aksi teror. Hal tersebut lantaran institusi polisi ini dianggap sebagai musuh uatama teroris.

“Ini memang sudah perang terbuka, panji polisi yang diincar, setelah itu pemerintah dan DPR,” kata Mardigu seperti dilansir Okezone, Jumat (16/11/2012).

Menurut Mardigu, ada pergeseran target teroris. Jika dulu sasarannya adalah simbol-simbol Barat maka sekarang target mereka menjadi sangat lokal.

“Sejak Abu Bakar Ba’asyir ditangkap, gerakan di Indonesia hanyalah gerakan lokal. Tujuannya mendirikan negara Islam, ketika polisi menghalangi, maka diincar,” paparnya.

Pendapat senada dikemukakan oleh pengamat politik Universitas Padjajaran Bandung, Muradi. Ia melihat, kepolisian menjadi target lantaran berhubungan langsung dengan penanganan keamanan masyarakat dan aksi terorisme.

Citra polisi yang buruk dengan banyaknya kasus internal yang mendera korps Bhayangkara, tutur Muradi, dijadikan senjata oleh para pelaku untuk membangun opini publik mengenai polisi sebagai musuh masyarakat.

“Sehingga ketika mereka melakukan aksi teror kepada polisi, masyarakat akan turut senang,” ujar Muradi seperti dilansir beritaliputan6.com.

Pada Kamis 15 November 2012 malam, Kapolsek Poso Pesisir Utara Iptu Bastian Tarluka ditembak oleh orang tak dikenal di rumah dinasnya. Beruntung Kapolsek selamat dalam peristiwa itu. Saat itu Kapolsek bermaksud mengambil kunci sepeda motor miliknya yang diparkir di depan rumahnya.

Namun tiba-tiba ia mendengar dua kali tembakan. Ia pun segera masuk ke rumah untuk mengambil senjata api miliknya. Saat berada dalam rumah, ia kembali mendengar tembakan sebanyak dua kali. Semua tembakan itu membentur dinding rumah dan atap.

Menurut Mardigu, aksi kemarin bukanlah tindakan pertama dan terakhir yang dilakukan kelompok teroris di Poso. “Kelompok ini masif sekali dibanding JI, atau Nurdin, ini gerakan lebih licin,” tukasnya.

Tidak Terindikasi Terorisme, Pemerintah Tetap Bekukan Sementara Pesantren Darul Akhfiya


Meski tidak terindikasi melakukan terorisme, pemerintah daerah Nganjuk membekukan sementara kegiatan Pondok Pesantren Darul Akhfiya. Pengurus pondok juga diminta mengurus izin pendirian yang selama ini belum dikantongi.

Kepala Badan Kesejahteraan Kebangsaan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Nganjuk Gunawan Widagdo mengatakan pembekuan ini dilakukan untuk meredam gejolak masyarakat. Sebab, hingga kini warga setempat bersikukuh menolak keberadaan pondok yang dianggap ilegal. “Ini demi keselamatan santri sendiri,” kata Gunawan Jumat, 16 November 2012.

Gunawan menambahkan, meski telah beroperasi selama satu tahun, pondok tersebut ternyata belum pernah mengajukan izin kepada Kantor Kementerian Agama setempat. Karena itu, pemerintah belum mengakui legalitas lembaga yang bermarkas di Kelurahan Kepuh, Kecamatan Kertosono, tersebut.

Saat ini, pemerintah masih mengkaji tentang kemungkinan relokasi pondok tersebut. Jika masyarakat setempat masih menolak keberadaan mereka, bisa saja pondok pesantren itu akan dipindahkan.

Saat ini, seluruh santri dan ustad Ponpes Darul Akhfiya tengah menjalani masa penenangan di salah satu rumah wali santri. Mereka akan dipulangkan ke kampung halaman masing-masing setelah sempat dua hari ditahan di Kantor Penanggulangan Bencana Daerah karena diindikasikan melakukan kegiatan terorisme.

Kuasa hukum Pondok Pesantren Darul Akhfiya, Ahmad Rafiq, tidak membantah tentang belum adanya izin dari Kemenag. Namun pengurus pondok telah mengajukan izin kepada Kepala Desa dan warga Kepuh jauh-jauh hari. “Kalau ilegal, kenapa sudah satu tahun baru didemo,” ia berkilah.

Rafiq, yang juga pengurus pondok, menegaskan tidak akan angkat kaki dari kampung tersebut. Selain melakukan kegiatan siar agama, aset bangunan pondok yang telah dibeli tidak akan dibiarkan begitu saja.

Senin, 12 November 2012

Radikalisme Agama Sangat Merugikan Islam


Akhir-akhir ini publik kerap disuguhi aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Bahkan tidak sedikit yang berujung pada aksi teror. Fenomena ini sangat memperihatinkan mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Karena Islam sebagai agama rahmatan lil alamin tidak membenarkan aksi kekerasan, apalagi terorisme.

Khatib ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Dr KH Malik Madani, MA, mengatakan, sebenarnya mereka (kelompok, red) yang bersifat radikal, senang kepada kekerasan dalam memperjuangkan nilai-nilai yang diyakininya benar, jumlahnya tidak banyak. Dan mayoritas umat Islam termasuk di Indonesia adalah Muslim yang menginginkan hidup dalam kedamaian.

Dikatakannya, mainstream umat Islam di dunia, termasuk di Indonesia adalah masyarakat yang cinta damai, karena hal itu (cinta damai, red) merupakan esensi ajaran Islam. Namun ada ada segelintir orang yang senang kepada kekerasan dan menganggap kekerasan itu sebagai pertanda kuatnya keislaman seseorang. “Ia beranggapan bahwa kalau seorang Muslim sudah berhasil menakut-nakuti orang lain, ia merasa berada dan menjadi Muslim yang paling kuat,” ungkapnya pada Lazuardi Birru.

Ironisnya, menurut Dosen Ilmu Tafsir Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga ini, meskipun mereka sedikit, namun suara mereka nyaring. “Inilah yang saya istilahkan sebagai al aqolliyah al jahiroh, minoritas tapi suaranya nyaring. Sebaliknya, mayoritas umat Islam yang menjadi mainstream tadi, yang saya katakan cinta pada kedamaian ini suaranya kurang terdengar, inilah yang saya sebut sebagai al aksariyah assomita, mayoritas tapi tampak diam,” kata Kiai Malik.

“Walapun sebenarnya, mereka ini tidak diam sepenuhnya. Tapi masalahnya adalah peran dari media massa lebih senang mem-bellow up suara-suara yang keras ini, walaupun mereka hanya mewakili segelintir orang,” imbuhnya.

Karena itu, kata Mantan Dekan Fakultas Syariah ini, ke depannya, suara yang mayoritas ini perlu mendapatkan porsi sesuai dengan kemayoritasannya. Namun persoalannya, media seringkali tidak senang dengan yang datar-datar itu. Justru  yang disenangi adalah yang kontroversial, termasuk kekerasan yang dilakukan oleh kelompok yang sebenarnya sedikit itu.

Menurut dia, kalau ke depan suara yang mayoritas ini bisa di bellow up oleh media massa, tentu citra Islam sebagai agama yang damai akan terbukti kembali. Kiai Malik menilai umat Islam sangat dirugikan dengan munculnya aliran-aliran sempalan yang sebenarnya adalah segelintir ini.

“Kita sangat dirugikan. Mengapa? Karena cira Islam sebagai Dinus Salam justru berbalik menjadi Islam sebagai Dinul Irhab, agama yang senang kepada teror, menakut-nakuti orang. Ini yang kita sesalkan dari perilaku sebagian kecil kelompok ini,” pungkasnya.

Kamis, 01 November 2012

Demi Keutuhan Negara, Empat Pilar Kebangsaan Patut Dijaga


Empat pilar berbagsa dan bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI harus tetap dijaga untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia yang plural. Empat pilar tersebut patut dijaga karena selama ini sudah menjadi perekat keberagaman yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.

“Empat pilar kebangsaan patut digelorakan demi menjaga keutuhan negara,” kata Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Farhan Hamid, seperti dilansir Antara, Rabu.

Kepada segenap komponen bangsa di wilayah perbatasan, dia berharap, untuk turut menjaga empat pilar kebangsaan tersebut. Namun, lanjut Farhan, pemerintah juga harus memberikan perhatian serius kepada wilayah perbatasan, agar masyarakat perbatasan tidak menoleh ke negara lain.

“Bila nilai batin masyarakat tidak dijaga dengan baik, kemudian lukanya menyeruak karena kurangnya perhatian dari pemerintah, maka nilai kebangsaan pada anak bangsa akan turun. Akan terlalu besar pengorbanan negara untuk mengobatinya,” ungkapnya.

Sementara itu, Gubernur NTT Frans Lebu Raya mengatakan, dalam pengelolaan perbatasan, Pemprov NTT telah membentuk kelembagaan khusus menangani perbatasan antarnegara maupun batas kabupaten/kota, yakni Badan Pengelola Perbatasan NTT.

Menurut dia, permasalahan di perbatasan secara umum, antara lain belum kondusifnya hubungan masyarakat, kurang berfungsinya pasar tradisional, adanya perdagangan ilegal, terbatasnya infrastruktur ekonomi, kurangnya potensi SDA, kualitas SDM yang masih rendah, dan adanya kemiskinan serta kesenjangan sosial ekonomi. “Dengan adanya BPP NTT itu, maka permasalahan di perbatasan bisa diatasi dengan baik,” pungkasnya.

Dunia Akui Indonesia “Pencipta Perdamaian”


Dubes Triyono Wibowo untuk Wakil Tetap RI di PBB, WTO, dan Organisasi Internasional lainnya di Jenewa, mengatakan kiprah Indonesia dalam menciptakan perdamaian dan keamanan dunia mendapatkan pengakuan masyarakat internasional.

Triyono menyampaikan pernyataan ini setelah menyerahkan surat kepercayaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Dirjen Kantor PBB di Jenewa, Kassym-Jomart Tokayev di Markas Besar PBB di Jenewa, demikian keterangan Dubes Triyono, pada Antara, Sabtu.

Triyono menyampaikan salam hangat Presiden RI kepada Tokayev, dan menegaskan komitmen kuat Indonesia untuk selalu bekerjasama dengan PBB sekaligus menjadi bagian pemecah masalah dalam menciptakan perdamaian dan keamanan dunia, sesuai mandat UUD 1945.

Triyono menilai, pengakuan  resmi Tokayev pada kesempatan yang sangat penting ini adalah wujud prestasi gemilang dan membanggakan diplomasi Indonesia yang perlu dipertahankan dan bahkan ditingkatkan di semua lini.

Tokayev memaparkan berbagai peran penting Indonesia di panggung internasional seperti keanggotaannya pada G-20.

Dia menilai peran Indonesia telah melampaui upaya perlucutan senjata dengan meratifikasi Comprehensive Test Ban Treaty (CTBT). Ia juga memberikan penghargaan atas peran Indonesia yang akan menjadi Presiden Conference of Disarmament di tahun 2013.

Setelah menyampaikan letter of credence,  Triyono yang mantan Wakil Menteri Luar Negeri RI, secara resmi mulai bertugas sebagai Wakil Tetap Republik Indonesia di PBB dan organisasi internasional lainnya.

Tercatat 40 organisasi internasional dalam berbagai bidang seperti Hak Asasi manusia, ekonomi pembangunan dan lingkungan hidup, ketenagakerjaan, kesehatan, telekomunikasi, serta berbagai isu kemanusiaan dan penanggulangan bencana berada di bawah naungan PBB.

Di Era Globalisasi, Dakwah Lewat Internet Penting


Dewasan ini, masyarakat di penjuru nusantara sudah bisa mengakses internet. Bahkan dengan adanya sosial media, seperti facebook, twitter, dan media sosial lainnya, masyarakat dengan mudah mendapatkan informasi lewat dunia maya tersebut.

Saat ini, internet telah banyak dimanfaatkan oleh kelompok tertentu yang tidak bertanggung jawab, seperti menyebarkan hate speech (kebencian), penyebaran ideologi radikal, dan informasi lain yang bisa merugikan publik, seperti pornografi.

Pengamat terorisme, Nasir Abas mengatakan, penyebaran ideologi radikal bisa melalui berbagai media seperti buku, membar bebas atau ceramah, dan internet. “Penyebaran ideologi radikal di Indonesia ini mudah, bisa melalui berbagai media, terutama internet,” kata Nasir pada Lazuardi Birru, di Jakarta.

Bahkan, kata mantan Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah (JI) ini, ada orang yang memang sengaja menulis dalam situs internet cara-cara membuat dan merakit bom, serta cara melakukan aksi radikal lainnya.

“Itu semua lengkap ada di dalam situs internet dan berbahasa Indonesia, sehingga hal ini (pemahaman radikal dan cara merakit bom, red) bisa saja dimiliki oleh orang–orang baru, generasi berikutnya yang setuju dengan paham tersebut. Lalu, merasa terpanggil untuk melakukan aksi yang sama,” kata Nasir.

Karena itu, ia berharap agar masyarakat tidak mudah menerima input-input pemahaman dan informasi yang tidak bisa dipertanggung jawabkan. Selain itu, ia juga berharap agar masyarakat, khususnya generasi muda bisa memfilter informasi yang ia dapatkan, baik melalui buku bacaan, internet, dan ceramah keagamaan yang mengandung kebencian dan aksi kekerasan.

Dalam konteks ini, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siroj meminta pengurus NU untuk memanfaatkan internet sebagai media dakwah. Menurut dia, hal ini penting agar internet, khususnya media sosial ini tidak hanya menjadi alat adu domba (hate speech).

“Dakwah tidak hanya cukup di masjid, dan musholla saja, akan tetapi pengurus NU harus bisa mengisi dan menggunakan media  internet, seperti facebook, youtube, harus kita isi,” kata Kiai Said seperti dilansir NU Online.

Menurut Kiai Said, dakwah kepada masyarakat juga bukan hanya berbicara soal aqidah saja. Menurutnya, persoalan aqidah bagi kalangan NU justru sudah tuntas, sehingga dalam  ceramah perlu menekankan pada persoalan peradaban. “Bagimana NU  ikut memajukan masyarakat, yakni  masyarakat bermartabat, ekonomi mapan, kesehatan terjamin ,ini yang harus NU sampaikan,” imbuhnya.

Waspadai Terorisme, Polisi Perketat Penjualan Bahan Kimia


Kepolisian Daerah Jawa Barat memperketat jual beli bahan kimia yang ada di wilayah hukumnya. Hal itu dilakukan pasca beredarnya kabar bahwa bahan peledak yang digunakan teroris berasal dari Jabar.

Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat Irjen Pol Putut Eko Bayuseno mengatakan, pihaknya telah memerintahkan anggota untuk lebih ketat melakukan pengawasan terhadap transaksi bahan kimia.

“Sudah kita instruksikan kepada Dir Intel Polda Jabar untuk lebih ketat melakukan pengawasan,” katanya di Bandung, Senin (29/10).

Salah satu pengawasan yang dilakukan menurutnya penjual diharuskan mencatat identitas pembelinya. Misalnya bila pembeli bahan kimia dari perorangan, paling tidak penjual mencatat identitas berdasarkan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Sedangkan untuk instansi, penjual harus mengetahui dokumen dan maksud untuk kejelasannya. “Kegunaan membeli bahan kimia itu buat apa. Baik dalam skala besar maupun kecil, harus ada kejelasan bahan kimia itu,” terangnya.

Mengenai masih maraknya aksi terorisme di Jabar, dia mengatakan sudah melakukan langkah antisipasi. Langkah deteksi dini dan pembinaan di masyarakat yang melibatkan seluruh babinkamtibmas terus dilakukan.

Polda Jabar juga telah melakukan koordinasi secara intensif dengan TNI, dan Pemerintahan dalam hal ini Provinsi Jawa Barat.

“Kita sudah berkoordinasi dengan Mabes Polri, dan tim gabungan seperi gubernur Jabar, Pangdam III/Siliwangi,” ucapnya.

Teroris Kerap Manfaatkan Akses Internet untuk Cuci Otak


Jalur penyebaran ideologi terorisme bisa melalui berbagai cara. Di era globalisasi seperti sekarang ini, pemanfaatan akses internet menjadi media para teroris yang juga sering digunakan untuk mempropagandakan misi-misi mereka.

Menurut Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Kediri, Ajun Komisaris Siswandi, banyak situs-situs radikal yang dimanfaatkan teroris untuk melakukan cuci otak. Dalam situs-situs tersebut biasanya dijelaskan landasan-landasan untuk melegitimasi aksi terorisme. Pesan-pesan semacam ini bisa dalam bentuk yang vulgar atau terselubung.

Untuk itu polisi merasa perlu memeriksa seluruh jejaring internet bahkan hingga ke warnet-warnet. Seperti yang dilakukan Satuan Reserse Kriminal Polresta Kediri pada hari ini. beberapa petugas mendatangi warnet-warnet di area yang dicurigai untuk melacak kronologi alamat yang diakses.

Selain itu juga Kepolisian Resor Kediri Kota menggeledah rumah kos-kosan yang sering dijadikan persinggahan para teroris. Menurut Siswandi, operasi ini akan terus dilakukan hingga beberapa waktu ke depan. Dia meminta siapa pun untuk melaporkan jika melihat ada yang mencurigakan di sekitar lingkungannya. 

Rabu, 24 Oktober 2012

Polda Sulteng: Bom Poso Dipicu dari Telepon Genggam


Ledakan bom yang terjadi di Kabupaten Poso pada Senin pagi dipicu dari sebuah telepon genggam yang dikendalikan dari jarak tertentu. Hal tersebut diungkapkan Kabid Humas Polda Sulawesi Tengah, AKBP Soemarno di Kota Palu, Senin. “Itu terbukti dari sebuah HP (telepon genggam) yang berada di lokasi ledakan,” kata dia.

Ledakan yang terjadi di Pos Polantas di Kelurahan Sintuvu itu terjadi pada pukul 06.15 WITA, melukai seorang polisi dan seorang satpam sebuah bank.

Soemarno menduga, pelaku berada tidak jauh dari lokasi kejadian karena mengetahui ada polisi yang sedang mendekat ke pos Polantas. “Pasti pelakunya tidak jauh, sehingga bisa meledakkan bom begitu ada polisi datang,” ucapnya.

Dia mengaku belum bisa memperkirakan pelakunya, serta kaitannya dengan pembunuhan dua anggota Polri di Dusun Tamanjeka, Poso, beberapa waktu lalu. Menurutnya, pelakunya dapat terungkap jika sudah ada pelaku yang tertangkap. “Yang jelas ini adalah teror kepada Polri dan masyarakat,” kata mantan Kapolres Parigi Moutong ini.

Sementara itu, dua korban ledakan bom saat ini sudah mendapat perawatan di RSUD Poso. Anggota Polantas Polres Poso yang terluka bernama Briptu Rusliadi mengalami luka di tangan dan pantat karena terkena serpihan bahan peledak. Sedangkan Satpam Bank BRI Akbar yang sedang melintas di depan pos saat bom meledak mengalami luka ringan.

Soemarno mengatakan bom tersebut berdaya ledak rendah karena tidak menimbulkan luka yang mematikan kepada korbannya.

Sebelumnya, pada Senin dini hari sebuah gereja di Kelurahan Madale, Kota Poso Utara, juga dibakar oleh orang tak dikenal, namun tidak menimbulkan korban jiwa. Soemarno mengimbau kepada warga Poso untuk tidak terpancing isu yang mengaitkan SARA. “Sudah ada petugas yang siap mengamankan Poso,” ujarnya.

Saat ini Kapolda Sulawesi Tengah Brigjen Pol Dewa Parsana bergegas menuju Kabupaten Poso yang berjarak 230 kilometer dari Kota Palu.

Senin, 15 Oktober 2012

Bom Bunuh Diri Masuk Kategori Perbuatan Dosa Besar


Sejak peristiwa Bom Bali I 2002 silam, banyak orang yang rela meledakkan dirinya, ia meyakini tindakan tersebut sebagai jalan untuk mati syahid dan bertemu dengan bidadari di Surga. Padahal Islam melarang umatnya melakukan bunuh diri. Sungguh ironis pemahaman yang menyesatkan itu.

Ustad H Boby Herwibowo, Lc mengatakan, bahwa melakukan tindakan bom bunuh diri yang mengorbankan orang-orang yang tidak berdosa, dan masyarakat sipil tersebut adalah perbuatan dosa besar.

Menurut dia, kenapa kalau kesal sama Amerika atau Israil tidak melakukan pengeboman dan bom bunuh diri di sana? Kenapa mesti dilakukan di negara Indonesia yang relatif aman? Seharusnya mereka (para pelaku terorisme, red) tidak melakukan tindakan yang tidak berkemanusiaan tersebut di negara tercinta ini. “Kalau misalnya ingin berjuang berangkatlah ke Palestina, musuhnya sudah jelas di sana, biar jihadnya betul,” kata Ustad Boby pada Lazuardi Birru.

 “Tapi kalau melakukan di sini dan targetnya adalah orang-orang yang tidak berdosa, semuanya malah mengutuk, tidak hanya mereka, saya pun juga mengutuk,” tegas alumni Al Azhar Mesir ini.

Melihat fenomena ini, Ustad Boby mengajak umat Islam untuk melakukan kontemplasi bagi mereka, karena boleh jadi mereka hanya membela agamanya sesuai dengan apa yang ia persepsikan, namun banyak umat Muslim yang menyesalkan tindakan mereka tersebut.

“Rupanya banyak muslim yang menyesalkan tindakan tersebut, termasuk saya. Kenapa melakukan di situ? Sehingga tidak ada kepentingan agama sama sekali,” ungkapnya.

Lebih jauh Ustad Boby mengatakan, tindakan terorisme itu sangat merugikan. “Satu merugikan agama kita, kedua merugikan nama baik Indonesia, sehingga Indonesia image-nya jelek, misalnya tinggal di Indonesia tidak aman, investasi tidak jalan,” demikian ia menjelaskan akibat tindakan terorisme yang terjadi di Indonesia.

Menurut dia, negara berdaulat adalah negara yang menciptakan keamanan, negara yang kuat dan berdaulat adalah negara yang bisa menjaga keamanan negaranya sendiri. Ia mengutip firman Allah SWT tentang hidup tenang. “Sebenarnya hidup tenang itu apa sich? Adalah ketika mereka cukup makan, dan mereka tidak merasa khawatir dan takut lagi, tidak takut apapun juga,” pungkasnya.

Islam Mengajarkan Umat Manusia Menyebarkan Perdamaian dan Keadilan


Aksi kekerasan atas nama agama di Indonesia telah mencoreng Islam sebagai agama rahmat bagi alam semesta. Karena itu, perlu langkah-langkah konkrit yang harus dilakukan agar Islam tidak disangkut pautkan dengan aksi kekerasan segelintir orang yang tidak bertanggung jawab, dan menodai nama baik agama tersebut.

Sebagai publik figur, Oki Setiana Dewi mengajak segenap masyarakat untuk menggali agama Allah SWT, dan menunjukkan pada dunia bahwa Islam bukan agama kekerasan, melainkan agama cinta damai. Ia mengajak seluruh komponen masyarakat, khususnya generasi muda untuk mengembalikan nilai-nilai Islam itu, dimulai dari diri sendiri.

Rasulullah SAW, kata Aktris film Ketika Cinta Bertasbih (KCB) ini, meninggalkan dua pedoman sebagai pegangan dan petunjuk bagi umat manusia dalam kehidupan sehari-hari. Pedoman tersebut merupakan sumber ajaran Islam, yaitu Alquran dan Hadis.

“Sebagai umat Islam, wajib hukumnya mempelajari dua pedoman itu dengan benar dan komprehensif. Serta mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari,” kata Oki pada Lazuardi Birru.

Dengan pemahaman dan penafsiran yang benar, lanjut Oki, insyaallah akan menemukan makna bahwa Islam itu mengajarkan sesuai dengan nama Allah yaitu, Ar-Rahman dan Ar-Rahim, Maha Penyayang dan Maha Pengasih.

Dalam asma Allah, yang dikenal dengan sebutan al-asmaul husna, Islam mengajarkan umat manusia untuk berkasih sayang, menyebarkan perdamaian, dan keadilan. Hal itu sesuai dengan nama Allah yang termaktub dalam Alquran.

Karena itu, Oki menilai, kesalahan dari tindakan kekerasan atas nama agama bukan terletak pada agama, namun terletak pada pemahaman yang tidak menyeluruh dalam menafsirkan ajaran agama. “Ketika ajaran agama dilaksanakan secara komprehensif, maka nilai-nilai Islam sebagai agama rahmat bagi alam semesta bisa terwujud,” kata muslimah ini.

Menurut dia, Islam mengajarkan umat manusia untuk berkasih sayang pada semua orang tanpa membeda-bedakan, baik suku bangsa, etnis, maupun agama dan kepercayaannya. Islam sama sekali tidak mengajarkan kekerasan, dan kebencian. Ajaran Islam seperti ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia yang majemuk.[

Islam Melarang Bunuh Diri


Tindakan teror yang terjadi di Tanah Air selama ini dipicu oleh pemahaman dan ideologi radikal yang menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, termasuk dengan cara melakukan teror dan bom bunuh diri. Padahal Islam tidak membenarkan tindakan tersebut.

Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat, KH Abdul Muhaimin mengatakan, Islam melarang seseorang membunuh diri sendiri, termasuk juga membunuh orang lain. Menurut dia, hal tersebut termaktub dalam Alquran surat Annisa, ayat 29 “wala taqtulu amfusakum” yang artinya “dan janganlah kamu membunuh dirimu.”

Menurut Kiai Muhamimin, dalam ayat tersebut secara tersurat berisi tentang larangan membunuh diri sendiri, mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.

Selain itu, lanjut Kiai Muhaimin, ada juga kaidah fiqhi yang berbunyi “wala tulqu biaidikum ila tahluka la daroro wala diroro.” Kaidah fiqhi ini menjelaskan agar kita tidak membunuh diri kita sendiri (bom bunuh diri, red), dan juga larangan menjerumuskan diri kita ke dalam kerusakan.

Jadi jelas, kata Kiai Muhaimin, di dalam Islam tidak mengenal sesuatu yang membahayakan diri sendiri, maupun orang lain. Menurut dia, mereka yang melakukan itu (pengeboman dan bom bunuh diri, red) karena menerima input-input wacana keislaman yang sifatnya sangat politis dan dijejalkan secara doktriner. Akhirnya ada claim of trust tentang keislaman, claim of trust tentang surga, meskipun hal tersebut konradiktif.

“Mereka meyakini bahwa dirinya akan masuk surga, tapi kenyataannya mau dikubur saja masyarakat menolak mereka. Di dunia saja sudah mengalami masalah, apalagi di akhirat,” pungkas Kiai Muhaimin 

Guru Bisa Berperan Redam Anarkisme dan Radikalisme


Surabaya—Sekolah bukan sekedar menjadi tempat pelajar mempelajari teori-teori ilmu pengetahuan. Namun bisa menjadi tempat penanaman karakter yang tangguh dan handal. Dengan demikian, mereka terhindar dari pengaruh buruk dari lingkungan, seperti tawuran massal, anarkisme, terorisme dan tindak asusila, seperti terjerat dunia prostitusi dan narkoba.

Di sini, posisi guru menjadi sangat vital. Setidaknya itulah pengalaman dari seorang guru BK (bimbingan konseling) Sekolah Menengah Atas Negeri I (SMAN I), Taman, Sidoarjo, Jawa Timur,  Juve Sulivan. Selama menjadi guru BK, ia mendapatkan pengalaman menarik. Pertama, saat adanya penyusupan secara terselubung paham radikal ke dalam sekolah. Ketika itu, sekolah kedatangan mahasiswa yang sedang KKN, salah satu mahasiswa yang menjadi guru agama, ternyata mengajarkan paham radikal. Penyusupan lainnya adalah melalui selebaran yang dimasukkan ke dalam sekolah.

Semua masalah tersebut, untungnya bisa segera diselesaikan. “Para siswa ketika menyadari ada sesuatu yang aneh dan berbeda dari apa yang diajarkan para guru, mereka segera melapor,” kisah Juve kepada Lazuardi Birru.

Pengalaman kedua, ketika ia ditempatkan sebagai guru BK bagi kelas yang dianggap paling bandel dan nakal. Ditegaskan oleh Juve, justru para siswa yang nakal dan bandel yang potensial dan mudah digarap oleh pihak luar untuk kepentingannya sendiri.

Menurut Juve, pola penyebaran yang dilakukan aktivis dengan memanfaatkan penyebaran selebaran di pagar sekolah. Di mana isi di dalamnya mengajak para pelajar untuk mempelajari ajaran tertentu yang radikal.

“Karena sebenarnya, anak-anak yang nakal, pada dasarnya karena kebutuhan kasih-sayangnya yang kurang terpenuhi. Terutama dalam keluarga. Bentuk kenakalan mereka adalah bentuk protes mereka agar diperhatikan oleh pihak sekitarnya. Nah, inilah yang tak banyak disadari oleh kita,” terang Juve.

Hal itu juga yang dimanfaatkan oleh mahasiswa yang sedang KKN tersebut. Ia memilih kelas yang dinilai paling susah diatur pihak sekolah. “Yang menarik, karena mahasiswa ini juga menggunakan media FB untuk mengajak siswa dalam paham radikal yang dianutnya. Dia pernah menulis status bahwa menghormat bendera itu haram, syirik,” jelas Juve.

Lalu bagaimana cara pihak sekolah bisa mengatasi problem berbahaya tersebut? Dijelaskan oleh Juve, yang paling bermanfaat adalah membangun kedekatan dan keakraban dengan para siswa. Guru selalu hadir ketika terdapat siswa yang mendapatkan masalah pribadi.

“Maka, ketika ada yang aneh dan menyimpang dari aturan dan ajaran yang ditanamkan oleh sekolah, siswa sendirilah yang mendatangi guru untuk melaporkan keadaan,” ucapnya.

Salah satu yang bisa dimanfaatkan adalah sarana media jejaring sosial seperti Facebook. Ia sendiri, sering menjadi lahan curhat para siswanya melalui sarana chatting Facebook. “Tak cuma soal kesulitan mata pelajaran, tapi sampai soal pribadi, seperti dunia percintaan mereka pun dicurhatin, agar dapat pemecahan masalah,” beber Juve.

Maka, jelas Juve, menciptakan kondisi sekolah yang dekat pada siswa adalah mutlak. Guru seharusnya tak hanya mengisi pelajaran di kelas. Namun sebisa mungkin hadir membantu ketika para siswa mengalami masalah-masalah kehidupan pribadi mereka.

Cegah Radikalisme, Pendidikan Keagamaan Harus Ditingkatkan


Salah satu penyebab utama terorisme yang terjadi di Tanah Air adalah faktor ideologi. Para pelaku terorisme menganggap bahwa tindakan teror merupakan bagian dari perjuangan membela agama, padahal tidak ada agama yang mengajarkan umatnya untuk berbuat teror. Hal itu terjadi karena doktrin dan pemahaman yang keliru. Karena itu, pendidikan keagamaan harus ditingkatkan.

Wacana tersebut diungkapkan mantan Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah (JI), Nasir Abas  di Jakarta. Menurut dia, untuk mencegah maraknya tindakan radikalisme yang berujung pada aksi terorisme, maka pendidikan keagamaan harus ditingkatkan.

Dalam konteks ini, Nasir berharap supaya pemerintah Indonesia lebih fokus dalam mengembangkan proses pendidikan keagamaan dalam program deradikalisasi, khususnya bagi para pelaku teror. Menurut Nasir, selama ini para pelaku terorisme mendapat doktrin dan pemahaman ajaran agama yang salah.

“Ketika seseorang itu sudah diberi doktrin atau pemahaman yang keliru, lalu dia meyakini, mau dia orang miskin, atau orang kaya, seorang yang berpendidikan, atau tidak berpendidikan, semua bisa terlibat ketika dia menerima pemahaman atau keyakinan tersebut,” ungkapnya.

Islam Menentang Terorisme


Pengamat terorisme dan mantan Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah (JI), Nasir Abas mengatakan, Islam sebagai agama rahmatan lil alamin tidak membenarkan aksi kekerasan, seperti aksi terorisme. “Ajaran Islam tidak membenarkan melakukan aksi terorisme baik melalui bom bunuh diri atau melalui hal lainnya,” kata Nasir Abas, di Jakarta.

Menurut Nasir, Islam melarang umat manusia bunuh diri. Bahkan, kata Nasir, ajaran Islam menyatakan orang yang bunuh diri itu haram masuk surga. Apalagi menyebabkan orang lain meninggal dunia. “Oleh karena itu faham tersebut harus dilawan,” tegas dia.

Lanjut jauh Nasir Abas mengingatkan, saat ini gerakan terorisme yang mengorbankan remaja sebagai martir bom bunuh diri semakin masif, karena itu, ia mengajak semua elemen masyarakat dan pemerintah untuk menyikapi persoalan tersebut dengan tepat. “Perubahan pola rekruitmen yang dilakukan para teroris juga harus disikapi dengan cepat. Baik itu pemerintah, kepolisian dan pihak sekolah serta orangtua,” ungkapnya.

“Perlu dilakukan bersama-sama deteksi dini untuk meminimalisir rekrutmen terorisme tersebut,” imbuh mantan Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah tersebut.

Salah satu upaya dini yang bisa dilakukan, kata Nasir, adalah memberikan pemahaman tentang bahaya laten terorisme. Selain itu, menanamkan paham keberagaman sebagai ciri khas bangsa Indonesia sangat penting. Karena menurut dia, bangsa Indonesia beridiri dilandasi oleh keberagaman dan saling menghargai yang tidak dimiliki oleh negara lain.

Menurut dia, praktek keberagaman yang termaktub dalam Pancasila menjadi landasan yang kuat untuk menanamkan pentingnya kebersamaan dalam perbedaan tersebut. “Jika ini diamalkan, maka tidak akan terjadi aksi terorisme. Dalam pancasila juga terkandung makna Islam,” demikian ia menjelaskan.