Senin, 26 November 2012

Pancasila Teruji Mengikat Keberagaman Bangsa


Perdebatan, pertentangan, ketegangan dan kontradiksi merupakan dialektika sejarah yang selalu muncul dalam kehidupan nyata. Hal tersebut diungkapkan Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Dr Abdul Munir Mulkan.

Ia mencontohkan perdebatan dan kontradiksi dalam menyikapi dasar negara Indonesia. Menurut dia, Pancasila sebagai ideologi negara melewati fase panjang dan telah teruji mampu menjadi solusi dari keberagaman dan kemajemukan bangsa Indonesia.

“Pancasila dan UUD 1945 yang kini dijadikan dasar konstitusi negara tidaklah muncul secara tiba-tiba. Ada proses sejarah yang melatarbelakanginya berupa tarik-ulur kekuatan-kekuatan yang ada pada waktu itu,” kata Mulkan pada Lazuardi Birru.

Meskipun kata mufakat sudah sedemikian bulat, lanjut Mulkan, Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara masih sering mendapat ancaman dari kelompok yang tidak puas terhadap dasar negara tersebut. Dalam sejarah negeri ini, tidak sedikit kelompok yang ingin merubah dasar negara menjadi Negara Islam, seperti kelompok Darul Islam (DI). Tak heran jika saat ini masih ada kelompok yang ingin merongrong dasar negara yang sudah menyejarah itu.

Fenomena seperti fundamentalisme, radikalisme dan terorisme adalah representasi kontemporer dari ketidakpuasan terhadap dasar negara tersebut. “Begitu banyak ekspresi ketidakpuasan terhadap negara yang dilakukan oleh kelompok Islam tertentu. Sebut saja di antaranya aksi-aksi yang dikomandoi Kartosuwiryo, Kahar Muzakkar, Daud Beureueh hingga Imam Samudra dan Abu Bakar Ba’asyir,” demikian Mulkan menjelaskan.

Menurut Pengamat Sosial Keagamaan ini, fenomena semacam ini belum pernah dikoreksi secara komprehensif oleh umat Islam. Bahkan dia menyimpulkan bahwa pemahaman-pemahaman keislaman yang radikal masih memikat kalangan muslim di Tanah Air.

Gerakan radikalisme di Indonesia masih marak. Hal ini karena reinterpretasi teks-teks suci terkunci rapat dan cenderung tekstual. Mulkhan menyatakan, di dalam mindset kelompok tertentu, penafsiran baru bukan hanya tidak diperlukan tetapi tidak diperbolehkan.

Pengelolaan Keragaman Indonesia Harus Tepat


Pakar konflik dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Mohammad Nur Kholis Setiawan mengatakan pengelolaan keragaman budaya dan agama di Indonesia perlu dilakukan dengan dasar konsep yang tepat. Ia menilai konsep pengelolaan keragaman yang tepat membutuhkan pemetaan komprehensif termasuk pada keragaman yang muncul akibat modernisasi.

Menurut Kholis pemetaan itu harus didasarkan pada perspektif yang menilai Indonesia merupakan lahan subur pertemuan berbagai peradaban besar dunia. Pertemuan berbagai peradaban besar ini mendapat dukungan penuh setelah beragam jenis agama besar dunia juga ikut masuk ke Indonesia.

“Tingkat keragaman budaya Indonesia merupakan tertinggi di dunia,” kata Kholis saat menyampaikan pidato pengukuhan guru besarnya bertema ‘Tafsir Al-quran dalam Konteks Keindonesiaan dengan Pola Pendekatan Tematik Kombinatif’ di  UIN Sunan Kalijaga, Selasa (20/11/2012).

Dia menilai kondisi keberagaman yang terbentuk dalam proses sejarah panjang itu menjadi peluang besar banyak pihak yang ingin memunculkan konflik sosial tajam di Indonesia. Namun, apabila keragaman itu terkelola dengan baik, akan menghasilkan peradaban kebudayaan tinggi.

“Sejarah sudah membuktikan masyarakat Indonesia bisa hidup berdampingan dalam situasi keberagaman budaya yang tinggi sejak lama, ini menjadi modal yang baik,” kata dia.

Kholis menegaskan keragaman merupakan Sunnatullah. Karena itu, kebersamaan merupakan bagian usaha untuk untuk merawat anugrah yang maha kuasa ini. “Selama sejarah manusia, keragaman bisa jadi sarana saling tukar jasa keahlian dan pemikiran,” ungkap dia

Dia menambahkan keragaman Sunnatullah sudah mendapat legitimasi dari Al-quran. Makanya, umat Islam harus memperhatikan prinsip itu untuk menciptakan kohesifitas yang menjadi dasar pengelolaan keragaman.

“Kita mesti memikirkan upaya pengelolaan keragaman berbasis nilai-nilai keislaman demi masa depan generasi bangsa mendatang,” kata Kholis.

Sabtu, 17 November 2012

Pengamat: Kepolisian Menjadi Target Teroris


Pengamat terorisme, Mardigu Wowiek Prasantyo, mengatakan bahwa institusi polisi telah menjadi target utama para teroris dalam melakukan aksi teror. Hal tersebut lantaran institusi polisi ini dianggap sebagai musuh uatama teroris.

“Ini memang sudah perang terbuka, panji polisi yang diincar, setelah itu pemerintah dan DPR,” kata Mardigu seperti dilansir Okezone, Jumat (16/11/2012).

Menurut Mardigu, ada pergeseran target teroris. Jika dulu sasarannya adalah simbol-simbol Barat maka sekarang target mereka menjadi sangat lokal.

“Sejak Abu Bakar Ba’asyir ditangkap, gerakan di Indonesia hanyalah gerakan lokal. Tujuannya mendirikan negara Islam, ketika polisi menghalangi, maka diincar,” paparnya.

Pendapat senada dikemukakan oleh pengamat politik Universitas Padjajaran Bandung, Muradi. Ia melihat, kepolisian menjadi target lantaran berhubungan langsung dengan penanganan keamanan masyarakat dan aksi terorisme.

Citra polisi yang buruk dengan banyaknya kasus internal yang mendera korps Bhayangkara, tutur Muradi, dijadikan senjata oleh para pelaku untuk membangun opini publik mengenai polisi sebagai musuh masyarakat.

“Sehingga ketika mereka melakukan aksi teror kepada polisi, masyarakat akan turut senang,” ujar Muradi seperti dilansir beritaliputan6.com.

Pada Kamis 15 November 2012 malam, Kapolsek Poso Pesisir Utara Iptu Bastian Tarluka ditembak oleh orang tak dikenal di rumah dinasnya. Beruntung Kapolsek selamat dalam peristiwa itu. Saat itu Kapolsek bermaksud mengambil kunci sepeda motor miliknya yang diparkir di depan rumahnya.

Namun tiba-tiba ia mendengar dua kali tembakan. Ia pun segera masuk ke rumah untuk mengambil senjata api miliknya. Saat berada dalam rumah, ia kembali mendengar tembakan sebanyak dua kali. Semua tembakan itu membentur dinding rumah dan atap.

Menurut Mardigu, aksi kemarin bukanlah tindakan pertama dan terakhir yang dilakukan kelompok teroris di Poso. “Kelompok ini masif sekali dibanding JI, atau Nurdin, ini gerakan lebih licin,” tukasnya.

Tidak Terindikasi Terorisme, Pemerintah Tetap Bekukan Sementara Pesantren Darul Akhfiya


Meski tidak terindikasi melakukan terorisme, pemerintah daerah Nganjuk membekukan sementara kegiatan Pondok Pesantren Darul Akhfiya. Pengurus pondok juga diminta mengurus izin pendirian yang selama ini belum dikantongi.

Kepala Badan Kesejahteraan Kebangsaan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Nganjuk Gunawan Widagdo mengatakan pembekuan ini dilakukan untuk meredam gejolak masyarakat. Sebab, hingga kini warga setempat bersikukuh menolak keberadaan pondok yang dianggap ilegal. “Ini demi keselamatan santri sendiri,” kata Gunawan Jumat, 16 November 2012.

Gunawan menambahkan, meski telah beroperasi selama satu tahun, pondok tersebut ternyata belum pernah mengajukan izin kepada Kantor Kementerian Agama setempat. Karena itu, pemerintah belum mengakui legalitas lembaga yang bermarkas di Kelurahan Kepuh, Kecamatan Kertosono, tersebut.

Saat ini, pemerintah masih mengkaji tentang kemungkinan relokasi pondok tersebut. Jika masyarakat setempat masih menolak keberadaan mereka, bisa saja pondok pesantren itu akan dipindahkan.

Saat ini, seluruh santri dan ustad Ponpes Darul Akhfiya tengah menjalani masa penenangan di salah satu rumah wali santri. Mereka akan dipulangkan ke kampung halaman masing-masing setelah sempat dua hari ditahan di Kantor Penanggulangan Bencana Daerah karena diindikasikan melakukan kegiatan terorisme.

Kuasa hukum Pondok Pesantren Darul Akhfiya, Ahmad Rafiq, tidak membantah tentang belum adanya izin dari Kemenag. Namun pengurus pondok telah mengajukan izin kepada Kepala Desa dan warga Kepuh jauh-jauh hari. “Kalau ilegal, kenapa sudah satu tahun baru didemo,” ia berkilah.

Rafiq, yang juga pengurus pondok, menegaskan tidak akan angkat kaki dari kampung tersebut. Selain melakukan kegiatan siar agama, aset bangunan pondok yang telah dibeli tidak akan dibiarkan begitu saja.

Senin, 12 November 2012

Radikalisme Agama Sangat Merugikan Islam


Akhir-akhir ini publik kerap disuguhi aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Bahkan tidak sedikit yang berujung pada aksi teror. Fenomena ini sangat memperihatinkan mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Karena Islam sebagai agama rahmatan lil alamin tidak membenarkan aksi kekerasan, apalagi terorisme.

Khatib ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Dr KH Malik Madani, MA, mengatakan, sebenarnya mereka (kelompok, red) yang bersifat radikal, senang kepada kekerasan dalam memperjuangkan nilai-nilai yang diyakininya benar, jumlahnya tidak banyak. Dan mayoritas umat Islam termasuk di Indonesia adalah Muslim yang menginginkan hidup dalam kedamaian.

Dikatakannya, mainstream umat Islam di dunia, termasuk di Indonesia adalah masyarakat yang cinta damai, karena hal itu (cinta damai, red) merupakan esensi ajaran Islam. Namun ada ada segelintir orang yang senang kepada kekerasan dan menganggap kekerasan itu sebagai pertanda kuatnya keislaman seseorang. “Ia beranggapan bahwa kalau seorang Muslim sudah berhasil menakut-nakuti orang lain, ia merasa berada dan menjadi Muslim yang paling kuat,” ungkapnya pada Lazuardi Birru.

Ironisnya, menurut Dosen Ilmu Tafsir Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga ini, meskipun mereka sedikit, namun suara mereka nyaring. “Inilah yang saya istilahkan sebagai al aqolliyah al jahiroh, minoritas tapi suaranya nyaring. Sebaliknya, mayoritas umat Islam yang menjadi mainstream tadi, yang saya katakan cinta pada kedamaian ini suaranya kurang terdengar, inilah yang saya sebut sebagai al aksariyah assomita, mayoritas tapi tampak diam,” kata Kiai Malik.

“Walapun sebenarnya, mereka ini tidak diam sepenuhnya. Tapi masalahnya adalah peran dari media massa lebih senang mem-bellow up suara-suara yang keras ini, walaupun mereka hanya mewakili segelintir orang,” imbuhnya.

Karena itu, kata Mantan Dekan Fakultas Syariah ini, ke depannya, suara yang mayoritas ini perlu mendapatkan porsi sesuai dengan kemayoritasannya. Namun persoalannya, media seringkali tidak senang dengan yang datar-datar itu. Justru  yang disenangi adalah yang kontroversial, termasuk kekerasan yang dilakukan oleh kelompok yang sebenarnya sedikit itu.

Menurut dia, kalau ke depan suara yang mayoritas ini bisa di bellow up oleh media massa, tentu citra Islam sebagai agama yang damai akan terbukti kembali. Kiai Malik menilai umat Islam sangat dirugikan dengan munculnya aliran-aliran sempalan yang sebenarnya adalah segelintir ini.

“Kita sangat dirugikan. Mengapa? Karena cira Islam sebagai Dinus Salam justru berbalik menjadi Islam sebagai Dinul Irhab, agama yang senang kepada teror, menakut-nakuti orang. Ini yang kita sesalkan dari perilaku sebagian kecil kelompok ini,” pungkasnya.

Kamis, 01 November 2012

Demi Keutuhan Negara, Empat Pilar Kebangsaan Patut Dijaga


Empat pilar berbagsa dan bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI harus tetap dijaga untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia yang plural. Empat pilar tersebut patut dijaga karena selama ini sudah menjadi perekat keberagaman yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.

“Empat pilar kebangsaan patut digelorakan demi menjaga keutuhan negara,” kata Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Farhan Hamid, seperti dilansir Antara, Rabu.

Kepada segenap komponen bangsa di wilayah perbatasan, dia berharap, untuk turut menjaga empat pilar kebangsaan tersebut. Namun, lanjut Farhan, pemerintah juga harus memberikan perhatian serius kepada wilayah perbatasan, agar masyarakat perbatasan tidak menoleh ke negara lain.

“Bila nilai batin masyarakat tidak dijaga dengan baik, kemudian lukanya menyeruak karena kurangnya perhatian dari pemerintah, maka nilai kebangsaan pada anak bangsa akan turun. Akan terlalu besar pengorbanan negara untuk mengobatinya,” ungkapnya.

Sementara itu, Gubernur NTT Frans Lebu Raya mengatakan, dalam pengelolaan perbatasan, Pemprov NTT telah membentuk kelembagaan khusus menangani perbatasan antarnegara maupun batas kabupaten/kota, yakni Badan Pengelola Perbatasan NTT.

Menurut dia, permasalahan di perbatasan secara umum, antara lain belum kondusifnya hubungan masyarakat, kurang berfungsinya pasar tradisional, adanya perdagangan ilegal, terbatasnya infrastruktur ekonomi, kurangnya potensi SDA, kualitas SDM yang masih rendah, dan adanya kemiskinan serta kesenjangan sosial ekonomi. “Dengan adanya BPP NTT itu, maka permasalahan di perbatasan bisa diatasi dengan baik,” pungkasnya.

Dunia Akui Indonesia “Pencipta Perdamaian”


Dubes Triyono Wibowo untuk Wakil Tetap RI di PBB, WTO, dan Organisasi Internasional lainnya di Jenewa, mengatakan kiprah Indonesia dalam menciptakan perdamaian dan keamanan dunia mendapatkan pengakuan masyarakat internasional.

Triyono menyampaikan pernyataan ini setelah menyerahkan surat kepercayaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Dirjen Kantor PBB di Jenewa, Kassym-Jomart Tokayev di Markas Besar PBB di Jenewa, demikian keterangan Dubes Triyono, pada Antara, Sabtu.

Triyono menyampaikan salam hangat Presiden RI kepada Tokayev, dan menegaskan komitmen kuat Indonesia untuk selalu bekerjasama dengan PBB sekaligus menjadi bagian pemecah masalah dalam menciptakan perdamaian dan keamanan dunia, sesuai mandat UUD 1945.

Triyono menilai, pengakuan  resmi Tokayev pada kesempatan yang sangat penting ini adalah wujud prestasi gemilang dan membanggakan diplomasi Indonesia yang perlu dipertahankan dan bahkan ditingkatkan di semua lini.

Tokayev memaparkan berbagai peran penting Indonesia di panggung internasional seperti keanggotaannya pada G-20.

Dia menilai peran Indonesia telah melampaui upaya perlucutan senjata dengan meratifikasi Comprehensive Test Ban Treaty (CTBT). Ia juga memberikan penghargaan atas peran Indonesia yang akan menjadi Presiden Conference of Disarmament di tahun 2013.

Setelah menyampaikan letter of credence,  Triyono yang mantan Wakil Menteri Luar Negeri RI, secara resmi mulai bertugas sebagai Wakil Tetap Republik Indonesia di PBB dan organisasi internasional lainnya.

Tercatat 40 organisasi internasional dalam berbagai bidang seperti Hak Asasi manusia, ekonomi pembangunan dan lingkungan hidup, ketenagakerjaan, kesehatan, telekomunikasi, serta berbagai isu kemanusiaan dan penanggulangan bencana berada di bawah naungan PBB.

Di Era Globalisasi, Dakwah Lewat Internet Penting


Dewasan ini, masyarakat di penjuru nusantara sudah bisa mengakses internet. Bahkan dengan adanya sosial media, seperti facebook, twitter, dan media sosial lainnya, masyarakat dengan mudah mendapatkan informasi lewat dunia maya tersebut.

Saat ini, internet telah banyak dimanfaatkan oleh kelompok tertentu yang tidak bertanggung jawab, seperti menyebarkan hate speech (kebencian), penyebaran ideologi radikal, dan informasi lain yang bisa merugikan publik, seperti pornografi.

Pengamat terorisme, Nasir Abas mengatakan, penyebaran ideologi radikal bisa melalui berbagai media seperti buku, membar bebas atau ceramah, dan internet. “Penyebaran ideologi radikal di Indonesia ini mudah, bisa melalui berbagai media, terutama internet,” kata Nasir pada Lazuardi Birru, di Jakarta.

Bahkan, kata mantan Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah (JI) ini, ada orang yang memang sengaja menulis dalam situs internet cara-cara membuat dan merakit bom, serta cara melakukan aksi radikal lainnya.

“Itu semua lengkap ada di dalam situs internet dan berbahasa Indonesia, sehingga hal ini (pemahaman radikal dan cara merakit bom, red) bisa saja dimiliki oleh orang–orang baru, generasi berikutnya yang setuju dengan paham tersebut. Lalu, merasa terpanggil untuk melakukan aksi yang sama,” kata Nasir.

Karena itu, ia berharap agar masyarakat tidak mudah menerima input-input pemahaman dan informasi yang tidak bisa dipertanggung jawabkan. Selain itu, ia juga berharap agar masyarakat, khususnya generasi muda bisa memfilter informasi yang ia dapatkan, baik melalui buku bacaan, internet, dan ceramah keagamaan yang mengandung kebencian dan aksi kekerasan.

Dalam konteks ini, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siroj meminta pengurus NU untuk memanfaatkan internet sebagai media dakwah. Menurut dia, hal ini penting agar internet, khususnya media sosial ini tidak hanya menjadi alat adu domba (hate speech).

“Dakwah tidak hanya cukup di masjid, dan musholla saja, akan tetapi pengurus NU harus bisa mengisi dan menggunakan media  internet, seperti facebook, youtube, harus kita isi,” kata Kiai Said seperti dilansir NU Online.

Menurut Kiai Said, dakwah kepada masyarakat juga bukan hanya berbicara soal aqidah saja. Menurutnya, persoalan aqidah bagi kalangan NU justru sudah tuntas, sehingga dalam  ceramah perlu menekankan pada persoalan peradaban. “Bagimana NU  ikut memajukan masyarakat, yakni  masyarakat bermartabat, ekonomi mapan, kesehatan terjamin ,ini yang harus NU sampaikan,” imbuhnya.

Waspadai Terorisme, Polisi Perketat Penjualan Bahan Kimia


Kepolisian Daerah Jawa Barat memperketat jual beli bahan kimia yang ada di wilayah hukumnya. Hal itu dilakukan pasca beredarnya kabar bahwa bahan peledak yang digunakan teroris berasal dari Jabar.

Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat Irjen Pol Putut Eko Bayuseno mengatakan, pihaknya telah memerintahkan anggota untuk lebih ketat melakukan pengawasan terhadap transaksi bahan kimia.

“Sudah kita instruksikan kepada Dir Intel Polda Jabar untuk lebih ketat melakukan pengawasan,” katanya di Bandung, Senin (29/10).

Salah satu pengawasan yang dilakukan menurutnya penjual diharuskan mencatat identitas pembelinya. Misalnya bila pembeli bahan kimia dari perorangan, paling tidak penjual mencatat identitas berdasarkan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Sedangkan untuk instansi, penjual harus mengetahui dokumen dan maksud untuk kejelasannya. “Kegunaan membeli bahan kimia itu buat apa. Baik dalam skala besar maupun kecil, harus ada kejelasan bahan kimia itu,” terangnya.

Mengenai masih maraknya aksi terorisme di Jabar, dia mengatakan sudah melakukan langkah antisipasi. Langkah deteksi dini dan pembinaan di masyarakat yang melibatkan seluruh babinkamtibmas terus dilakukan.

Polda Jabar juga telah melakukan koordinasi secara intensif dengan TNI, dan Pemerintahan dalam hal ini Provinsi Jawa Barat.

“Kita sudah berkoordinasi dengan Mabes Polri, dan tim gabungan seperi gubernur Jabar, Pangdam III/Siliwangi,” ucapnya.

Teroris Kerap Manfaatkan Akses Internet untuk Cuci Otak


Jalur penyebaran ideologi terorisme bisa melalui berbagai cara. Di era globalisasi seperti sekarang ini, pemanfaatan akses internet menjadi media para teroris yang juga sering digunakan untuk mempropagandakan misi-misi mereka.

Menurut Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Kediri, Ajun Komisaris Siswandi, banyak situs-situs radikal yang dimanfaatkan teroris untuk melakukan cuci otak. Dalam situs-situs tersebut biasanya dijelaskan landasan-landasan untuk melegitimasi aksi terorisme. Pesan-pesan semacam ini bisa dalam bentuk yang vulgar atau terselubung.

Untuk itu polisi merasa perlu memeriksa seluruh jejaring internet bahkan hingga ke warnet-warnet. Seperti yang dilakukan Satuan Reserse Kriminal Polresta Kediri pada hari ini. beberapa petugas mendatangi warnet-warnet di area yang dicurigai untuk melacak kronologi alamat yang diakses.

Selain itu juga Kepolisian Resor Kediri Kota menggeledah rumah kos-kosan yang sering dijadikan persinggahan para teroris. Menurut Siswandi, operasi ini akan terus dilakukan hingga beberapa waktu ke depan. Dia meminta siapa pun untuk melaporkan jika melihat ada yang mencurigakan di sekitar lingkungannya.