Senin, 10 September 2012

Nasir Abbas Dukung Ide Sertifikasi Ulama


Usulan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) soal perlunya sertifikasi para kiai/ulama, menuai pro-kontra. Ide itu dikritik lantaran baru disulkan saat aksi terorisme marak belakangan ini.

Mantan anggota Jamaah Islamiyah (JI), Nasir Abbas, mengatakan, sertifikasi terhadap pemuka agama sesuatu yang positif, namun sebelumnya perlu dibuat regulasi untuk mengaturnya.

"Soal sertifikasi untuk ulama itu sebenarnya menurut saya baik jika diatur dengan baik seperti ada regulasinya. Memang orang yang mengajar atau mentransfer ilmu ini perlu dilakukan oleh orang yang mempunyai pendidikan yang cukup agar tidak ada salah tafsir," jelas Nasir saat berbincang dengan Okezone, Minggu (9/9) malam.

Pria yang juga anggota Forum Komunikasi Alumni Afghanistan Indonesia (FKAAI) itu menambahkan, seharusnya yang diberi sertifikasi bukan hanya ulama atau dari kalangan Islam saja, tapi juga dari para pemuka agama lain di Indonesia.

"Saya kira bukan hanya ulama, tapi para guru-guru pengajar semua agama harus ada sertifikasinya, tetapi itu pun harus sesuai dengan undang-undang, namun tidak harus dipaksakan," simpulnya. 

Seperti diberitakan, Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, mengusulkan sertifikasi terhadap dai dan ustaz. Dia mengaku, langkah tersebut bisa dijadikan antisipasi gerakan radikal serta sudah dijalankan di beberapa negara, seperti Singapura dan Arab Saudi.

Sumber : Eramuslim.com

Remaja Solo Harus Kritis Terhadap Ormas Radikal


Tertembaknya Farhan dan Mukhsin, dua terduga teroris yang masih berusia 19 tahun, di Solo beberapa hari lalu mengundang keprihatinan remaja Surakarta. Nurul Mustofa, Ketua OSIS Madrasah Aliyah Negeri (MAN) I Surakarta sangat terkejut atas peristiwa tersebut sekaligus prihatin atas keterlibatan remaja dalam aksi terorisme.

“Sebagai warga Solo saya sangat terkejut atas kejadian tersebut karena selama ini situasi Solo aman dan kondusif. Peristiwa itu mencoreng citra kota Solo yang terkenal aman,” ujarnya kepada Lazuardi Birru, Selasa 4 September 2012.

Sebelum aksi penangkapan yang diiringi baku tembak antara polisi dengan dua terduga teroris tersebut, warga Solo sempat diresahkan oleh serangkaian aksi teror terhadap Pos Polisi dan Mapolsek selama bulan Agustus. Salah satu teror yang dikeluhkan oleh Mustofa adalah teror terhadap pos polisi di simpang Gemblengan karena terjadi pada malam lebaran.

“Tentu aksi itu meresahkan warga, khususnya umat muslim yang hendak merayakan lebaran pada esok harinya,” tandasnya.

Ia juga merasa prihatin karena ternyata aksi teror itu dilakukan oleh remaja belasan tahun. Menurut Mustofa, mestinya remaja harus kritis, pintar memilih dan memilah mana kelompok atau organisasi yang memberikan dampak baik atau buruk.

“Remaja jangan mudah terhasut oleh kelompok-kelompok yang mengajak pada aksi kekerasan, radikalisme, apalagi terorisme,” tandasnya.

Dalam hemat dia, segala sesuatu ada menyimpan madharat dan manfaatnya. Ormas radikal yang lebih mementingkan kekerasan dalam aksinya tentu memberikan dampak negatif. Kendati demikian, Ormas radikal juga bisa membangkitkan gairah perjuangan remaja.

Karena itu ia meminta kepada pihak berwajib agar bertindak tegas terhadap segala bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aktivis Ormas atas nama apa pun.

“Mestinya aparat pemerintah lebih teliti terhadap ormas. Jika ada Ormas yang menuju radikalisme seharusnya pemerintah lebih dini menanggulanginya. Ini penting untuk menjaga kondusifitas kota Solo,” cetusnya.

Mencari Solusi Damai Bagian dari Jihad


Jihad merupakan upaya sungguh-sungguh dalam mencapai tujuan, termasuk juga mencari solusi damai. Pemaknaan tersebut sangat kontekstual di tengah situasi konflik yang kerap terjadi di berbagai tempat. Wacana tersebut diungkapkan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Amidhan.

“Kontektualisasi pemaknaan jihad di Indonesia ini adalah jihad dalam arti solusi damai. Jadi kita harus bersungguh-sungguh, melakukan solusi terhadap konflik-konflik yang terjadi, terutama kerukunan beragama itu harus ditingkatkan sedemikian rupa,” kata Amidhan pada Lazuardi Birru beberapa waktu lalu.

Menurut dia, pemaknaan jihad dalam arti solusi damai harus merambah sampai akar rumput. Dialog-dialog antarumat beragama jangan hanya berkutik di kalangan elit saja. Meski selama ini, kata Amidhan, ketika para tokoh agama, dan para kiai-nya sudah rukun dan damai, di bawah juga ikut, tapi tetap tidak bisa hanya mengandalkan hal itu. “Harus langsung ke wilayah akar rumput,” ungkapnya.

Ketua MUI ini pernah mengusulkan agar mengirim seorang tokoh untuk terjun langsung ke masyarakat mengampanyekan solusi damai. “Dulu saya pernah menawarkan misalnya mengirim tokoh agama, tiga atau enam bulan di wilayah yang rawan konflik itu. Ia tinggal di siru dan mengampanyekan pentingnya hidup damai dan rukun,” ungkapnya.

Selain itu, bisa juga mengirim tokoh atau ulama tapi yang belum dikenal di daerah tersebut agar dia bisa mengampanyekan pentingnya perdamaian dan kerukunan. “Kalau hanya mengandalkan ceramah di daerah yang rawan konflik satu atau dua kali tidak aka nada dampaknya,” imbuhnya.

Jadi, menurut Amidhan, harus merubah tingkah laku mereka agar bisa hidup damai dan rukun. “Kita harus menjadi pengembang untuk masyarakat yang cinta damai itu,” harapnya.

Masyarakat Diminta Aktif Cegah Depok Jadi Tempat Mangkal Teroris


Depok, Jawa Barat sebagai penyangga Jakarta yang juga pemukiman warga harus dicegah agar tidak menjadi tempat “mangkal” teroris dan jaringannya. Hal tersebut diungkapkan Anggota DPRD Kota Depok, Abdul Gofar, Kamis.

“Untuk itu perlu aturan yang tegas dan juga para pengurus RT dan RW harus aktif bersilaturahmi dengan warganya,” kata Gofar. Dia datangi lokasi penangkapan terduga teroris di Taman Anyelir 2 Depok, Kamis.

Seperti diberitakan sebelumnya, tersangka teroris Solo ditangkap Densus 88 di rumah kerabatnya di Depok.

Terkait dengan seringnya Depok menjadi tempat mangkalnya para teroris, ia berharap agar masyarakat berperan aktif. Dia juga mengecek efektifitas peraturan daerah (perda) kependudukan dan implementasi peraturan internal lingkungan warga terkait wajib lapor 1×24 jam.

Ia mengatakan setiap RT dan RW harus lebih aktif untuk memiliki basis data warga di lingkungannya. “Kejadian tersebut harus menjadi pembelajaran bagi kita semua dan silaturahmi antar tetangga harus ditingkatkan,” ujarnya.

Jangan Sampai Kampus dan Masjid Disusupi Kelompok Radikal


Ketua Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) Ansyaad Mbai mensinyalir banyak tempat ibadah dan universitas yang kini telah dikooptasi oleh kelompok radikalisme. Tak hanya itu, kampus juga menjadi sasaran empuk untuk proses regenerasi dan ideologisasi kelompok radikal.

“Hasil penelitian, banyak tempat ibadah yang dikooptasi kaum radikal. Kampus juga kewalahan radikalisme di kampus,” kata Ansyaad.

Hal tersebut disampaikan Ansyaad dalam rapat Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja-KL) Tahun Anggaran 2013 bersama Komisi III DPR RI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis, 6/9/2012, seperti dikutip berbagai media.

Ansyaad juga menyatakan, 86 % mahasiswa di 5 universitas kenamaan di Pulau Jawa tidak lagi menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. “Kampus juga kewalahan menghadapi radikalisme di kampus. Hasil penelitian LIPI 5 universitas ternama di Jawa, 86 % mahasiswanya menolak Pancasila sebagai dasar negara,” ungkapnya.

Tak hanya universitas, Ansyaad mengungkapkan bahwa para siswa sekolah menengah ke atas juga tak luput dari gerakan radikalisme. “Yang namanya Rohis SMA, di Jaksel, Jakut, dan Bandung, sudah dibawah pengaruh NII,” imbuhnya.

Untuk itu, Ansyaad menegaskan pihaknya ingin melindungi negara ini dari gerakan-gerakan radikalisme. “Kita ingin melindungi, jangan sampai tempat ibadah dikooptasi radikalisme. Kita lakukan hari ini, jangan tanya hasilnya besok. Ini proses yang panjang,” pungkasnya.

Pernyataan Ansyaad tersebut sesuai dengan hasil penelitian banyak lembaga yang mengatakan bahwa masalah radikalisme di Indonesia sudah sangat memperihatinkan. Karena itu, sudah waktunya membentengi generasi muda agar terhindar dari paham radikalisme yang sudah meracuni generasi muda.

Ayah Terduga Teroris Minta Maaf

Muslim Sanny Ashidiq  ayah dari terduga teroris Solo Muchsin Sanni Permadi

Muslim Sanny Ashidiq (49), ayah dari terduga teroris Solo Muchsin Sanni Permadi (20), menyampaikan permintaan maaf pribadinya kepada segenap bangsa Indonesia. Ia menilai kejadian yang dialami oleh putranya Muchsin merupakan sesuatu yang di luar dugaannya.

“Saya pertama-tama beserta keluarga minta maaf sebesar-besarnya. Untuk keluarga besar saya, untuk warga RT 03 RW 03 kelurahan Batu Ampar, Jakarta Timur. Dan juga kepada Bangsa Indonesia secara umum,” kata Muslim di Rumah Sakit Said Sukanto (RS Polri), Kramat Jati, Jakarta Timur, Jumat (7/9/2012) siang.

“Saya minta maaf atas kejadian yang dialami anak saya dan sangat tidak terduga. Saya sangat menyesal karena tidak dapat menangkap atau melihat tanda kematian dan ternyata permohonan maaf (Muchsin) merupakan permintaan maafnya yang terakhir,” tambah Muslim.

Muslim juga meminta maaf mengenai ucapannya yang beredar di media massa, yang mengatakan bahwa ia pernah menyebut kematian putranya merupakan sahid.

“Saya mohon maaf karena kemarin saya menyatakan tentang mati sahid itu adalah keliru. Karena yang sebenarnya punya hak menentukan (itu) cuma Allah SWT, bukan saya sebagai manusia,” ujar Muslim.

Sesudah shalat Jumat, jenazah Muchsin dimakamkan di Pondok Rangon, Jakarta Timur.

Rabu, 05 September 2012

Kekerasan atas Nama Agama dan Problem Kebangsaan Kita


Kekerasan atas nama agama kembali terjadi. Kali ini terulang kembali di Sampang. Kelompok pengikut Sunni dan Syiah bersitegang, saling menyerang, dan berakhir dengan pembakaran sejumlah rumah pengikut Syiah.

Tidak hanya itu, korban nyawa pun terjadi. Konflik dan aksi kekerasan yang melibatkan dua pengikut aliran di dalam Islam seperti itu memang bukan khas Indonesia. Sejak masa kekhalifahan, sepeninggal Nabi Muhammad SAW, ketegangan di antara dua kelompok ini tidak hanya sebatas ketegangan wacana. Dalam kasus tertentu, perbedaan itu berujung pada kekerasan,dan hal ini terjadi di sejumlah negara.

Di Indonesia, pengikut Syiah tergolong minoritas. Tetapi secara umum, kehadiran Syiah sebenarnya tidak menjadi masalah yang sangat berarti. Hal ini berbeda dengan aliran Ahmadiyah yang dianggap telah keluar dari ajaran Islam karena dipandang mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad. Syiah, dalam pandangan banyak ulama, merupakan bagian dari aliran di dalam Islam.

Kompleksitas Masalah 

Meskipun demikian, seperti halnya praktik interaksi aliranaliran di dalam agama-agama lainnya, perbedaan pandangan teologis antara pengikut Sunni dan Syiah itu bisa mencuat ke arah konflik yang mengemuka, manakala masing-masing berpandangan bahwa hanya kelompoknya yang paling benar dan kelompok lain salah. Tidak berhenti sampai di sini, terdapat pemikiran dan tindakan untuk saling meniadakan. Model konflikzero-sum game inilah yang memicu munculnya kekerasan itu.

Di dalam kasus Sampang, masalahnya menjadi lebih kompleks karena dua konteks. Pertama, konflik itu sejatinya tidak lepas dari konflik pribadi antara dua saudara di dalam memperebutkan “sesuatu”. Untuk menambah amunisi kekuatan, masing-masing lalu “meminta bantuan” dari komunitas yang berbasis pada pemahaman dua aliran itu.

Kedua, konflik di Sampang terjadi di daerah yang tergolong terbelakang. Kabupaten Sampang termasuk salah satu kabupaten tertinggal. Tingkat pendidikan masyarakatnya, misalnya, di bawah rata-rata tingkat pendidikan di Jawa Timur. Kehidupan ekonominya juga tergolong paspasan.

Sementara itu, budaya paternalistiknya masih kental. Tingkat kepatuhan kepada pemimpin-pemimpin masyarakatnya masih tinggi. Tidaklah mengherankan kalau kita mendapati realitas bahwa orang-orang yang terlibat langsung dalam konflik kekerasan itu, sebenarnya tidak memahami secara mendalam substansi persamaan dan perbedaan teologis antara Sunni dan Syiah. Yang mereka tahu adalah, mereka merupakan bagian dari Sunni dan Syiah. Ketika ada yang menggerakkan untuk saling meniadakan, mereka mengikuti begitu saja ajakan itu.

Problem Kebangsaan 

Apa yang terjadi di Sampang itu merupakan peristiwa buruk yang tidak perlu terjadi. Konflik kekerasan yang mengatasnamakan agama itu bukan hanya telah mencederai kesucian agama, melainkan juga mencederai rasa kebangsaan kita. Adanya perbedaan di dalam menafsirkan agama merupakan suatu realitas. Semua agama memiliki pengalaman semacam ini.

Hal ini tidak lepas dari realitas bahwa ajaran yang dibawa oleh para nabi, termasuk yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, tidak semuanya berisikan pedoman-pedoman yang sudah. Tidak sedikit ajaran yang harus ditafsirkan. Karena itu, ketika muncul adanya kelompok-kelompok dalam penafsirannya, hal itu merupakan hal yang wajar saja. Meskipun demikian, perbedaan penafsiran, yang di antaranya telah melahirkan aliran-aliran itu, tidak sertamerta menghilangkan persamaan-persamaannya.

Adanya pengakuan tentang persamaan dan perbedaan itu akan melahirkan sikap saling menghormati satu sama lain. Apalagi, masing-masing juga menyadari bahwa apa yang dilakukan itu merupakan bagian dari usaha untuk sama-sama mencapai kebaikan dan kemuliaan. Penonjolan perbedaan yang berujung pada lahirnya konflik dan saling meniadakan justru bisa merusak nilai-nilai agama yang dianut itu.

Dalam konteks keindonesiaan, apa yang terjadi di Sampang itu sangat mengkhawatirkan. Sejak awal, konstruksi kebangsaan yang dibangun Indonesia adalah bangsa yang majemuk, tetapi satu. Konstruksi demikian sejalan dengan bingkai paham multikultural. Dalam paham yang terakhir ini, hubungan antarkelompok digambarkan dalam dua karakteristik. Pertama adalah proeksistensi, dan yang kedua adalah koeksistensi.

Suatu bangsa yang majemuk akan terjalin secara baik manakala masing-masing kelompok mengakui dan mendukung keberadaan kelompok lain. Mendukung kelompok lain untuk ada, berarti mendukung dirinya sendiri untuk tetap ada. Selain itu, suatu bangsa yang majemuk akan berjalan secara baik manakala antara kelompok satu dan kelompok lain bisa dan saling bekerja sama.

Perbedaan etnik, kelas sosial, agama, dan karakteristik sosiologis lainnya tidak menjadi halangan bagi mereka untuk saling berinteraksi di dalam kehidupan sehari-hari. Kasus yang terjadi di Sampang bertolak belakang dengan karakteristik paham multikultural itu. Di antara kelompok yang bertikai itu terdapat pemikiran dan aksi untuk tidak saling mengakui dan upaya meniadakan satu sama lain. Konsekuensi selanjutnya, mereka tidak menginginkan kerja sama satu sama lain.

Rekayasa Sosial 

Mengingat kasus seperti Sampang itu membahayakan karakteristik kebangsaan Indonesia, kejadian serupa di kemudian hari tidak boleh terulang kembali. Tidak mudah mewujudkannya memang, tetapi kita perlu memiliki langkah strategis berupa rekayasa sosial untuk mencegahnya. Pendidikan multikulturalisme merupakan kata kuncinya. Melalui pendidikan demikian, masyarakat memiliki pengetahuan yang cukup mengenai eksistensi masyarakat Indonesia yang berbeda-beda.

Tidak hanya mengetahui, mereka bisa saling mengakui dan bekerja sama satu sama lain. Pendidikan multikulturalisme tidak harus dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan formal. Komunitas, organisasi organisasi masyarakat bisa melakukannya. Yang terakhir ini bahkan memiliki implikasi yang tidak kalah pentingnya, karena proses pembelajaran dilakukan bersamaan dengan praktik hidup bersama-sama di dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, intervensi negara juga penting. Intervensi negara itu berupa aksi aparat negara, khususnya aparat keamanan dan penegak hukum, dalam melakukan pencegahan dan penanganan masalah kalau terjadi kerusuhan semacam itu terjadi.

Bagaimanapun, negara merupakan institusi pokok yang memiliki kekuatan, termasuk kekuatan kekerasan, agar peristiwa-peristiwa semacam itu tidak terjadi.

Kacung Marijan 
Guru Besar Universitas Airlangga (Unair), Staf Ahli Mendikbud

Sumber: Seputar Indonesia, 29 Agustus 2012

Senin, 03 September 2012

Teror di Solo, Intelijen negara harus ditambah


Aksi teror dan penembakan di Solo mulai sering terjadi dalam beberapa hari terakhir. Terkait itu, Wakil Ketua Komisi III DPR Tjatur Sapto Edy mengatakan, perlu ada penambahan aparat inteligen negara guna mencegah terjadinya aksi terorisme berikutnya.

"Perlu ditambah intelijen negara untuk backup intelijen Polri, sebab inteligen Polri lemah. Tidak bisa Polri sendirian dengan kekuatannya yang minim," kata Tjatur di Jakarta, Sabtu (1/9).

Selain diperlukan penambahan intelijen negara, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah 'soft power' sebagai langkah pencegahan. Cara ini diyakini bisa meredam munculnya benih-benih terorisme, seperti dialog atau deradikalisasi.

Dia menilai, upaya itu dapat berjalan lebih efektif dibandingkan harus menggunakan kekuatan bersenjata. Sayangnya, upaya itu ternyata belum sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah secara menyeluruh, hanya polisi yang diketahui melakukan tindakan itu.

"Memberikan pemahaman secara menyeluruh kepada masyarakat, kepada generasi muda sebab yang direkrut adalah generasi muda dengan menyusupi bahwa nabi bukan seperti ini berjuang. Itu bagian dari kewajiban agama seperti jihad," paparnya.

Peran Kementerian Agama, MUI, tokoh agama, kiai dan lapisan masyarakat juga sangat dibutuhkan. Terutama untuk meluruskan cara pandang dan pemahaman yang selama ini salah.

"Soft power harus dibarengi dengan penambahan inteligen negara. Harus dijalankan secara bersamaan atau istilahnya double track," pungkas Wakil Ketua Komisi III DPR ini.

ICMI: Masyarakat Jangan Terprovokasi Kasus Sampang


Ketua Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Nanat Fatah Natsir meminta seluruh warga negara Indonesia supaya tidak terprovokasi dengan kejadian kekerasan yang diduga berlatar belakang konflik mazhab keagamaan tertentu di Sampang, Madura.

“Jangan sampai konflik itu melebar ke wilayah lain. Lebih baik menumbuhkan toleransi terhadap beragamnya pemahaman keagamaan yang ada,” kata Nanat, Selasa (28/8/2012).

Nanat mengatakan setelah Nabi Muhammad SAW wafat, muncul berbagai aliran Islam dengan pemahaman yang berbeda satu sama lain. Namun, banyaknya aliran pemahaman itu sebenarnya sudah diperkirakan oleh Nabi Muhammad.

Karena itu, menurut dia, lebih baik berbagai aliran pemahaman itu dibiarkan saja tumbuh dan berkembang dengan didasari toleransi. Jangan sampai muncul konflik hanya karena pemahaman yang berbeda.

“Silakan menganut pemahaman tertentu yang menganggap yang paling benar. Tetapi jangan sampai menyalahkan pemahaman lain, apalagi sampai menganggap yang lain sesat dan kafir,” kata mantan rektor UIN Bandung itu.

Nanat mengatakan banyaknya aliran pemahaman dalam agama Islam disebabkan perbedaan penafsiran antara kelompok satu dengan yang lain. Namun, setiap kelompok harus menyadari, bahwa penafsiran yang paling benar hanya Allah dan Rasulullah yang tahu.

“Jalankan saja kewajiban agama sebagaimana yang dipercaya. Benar atau salah hanya Allah yang tahu di akhirat nanti,” katanya.

Dia juga meminta supaya umat Islam di Indonesia meningkatkan pendidikan agama sehingga lebih cerdas dan dewasa dalam memahami Al Qur`an dan ajaran agama.

Penyerangan terhadap kelompok tertentu terjadi Minggu (26/8) di Dusun Nanggernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Jatim. Polres Sampang menyatakan satu orang tewas dalam kejadian tersebut, yaitu Muhammad Husin (50). 

Sumber: Antara

Terduga Teroris di Bandung Terkait Jaringan Hacker


MK alias Maman alias Ashabur Rasyid, terduga teroris yang ditangkap oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri di sebuah perusahaan IT di Bandung, diduga adalah seorang peretas (hacker) jaringan internet yang terlibat pendanaan kasus terorisme.

“Kita duga dia adalah hacker. Pemain carding yang sementara ini kita tangkap dan akan kita cari keterangan tambahan,” kata seorang penyidik enggan disebutkan namanya seperti dilansir laman Beritasatu.

Penyidik itu menyebutkan, pelaku yang ditangkap berinisial MK, kelahiran 14 September 1981, dan beralamat di Perum Pawenang II No A3, Arcamanik, Kelurahan Cisaranteun, Bandung Timur. Dia diduga terkait dengan Rizki Gunawan, tersangka terorisme yang ditangkap di Jakarta Mei lalu.

“Kami punya waktu 7×24 jam untuk menentukan statusnya, apakah saksi ataukah akan menjadi tersangka,” ungkap sumber tersebut.

Rizki Gunawan adalah sarjana muda akutansi yang berhasil membobol sebuah situs multi level marketing (MLM), dan mendapatkan dana haram senilai Rp5,937 miliar. Uang miliaran rupiah itu digunakan untuk mendukung berbagai kegiatan aksi terorisme, setelah sebelumya ‘dicuci’ dengan cara dibelikan beberapa benda di Medan yang telah disita Juni lalu.

Dengan  dana itu, Rizki memberi dukungan pelatihan paramiliter di Poso senilai Rp.667 juta bersama tersangka lain, Cahya Fitrianta yang telah ditangkap Mei lalu di Bandung. Rizki juga terlibat dalam pendanaan pengeboman Gereja Kepunton, Solo pada 25 September 2011.


Sumber: Beritasatu

Banyak Siaran Bermuatan Kekerasan


Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sumatera Utara (Sumut) mencatat jumlah pelanggaran penyiaran terbanyak periode Januari-Agustus 2012 dipegang oleh siaran yang bermuatan kekerasan.

Mutia Atiqah selaku Kordinator Bidang Pengawas Isi Siaran KPID Sumut, menyatakan, pelanggaran yang dilakukan oleh beberapa lembaga siaran yang dipantau telah sesuai dengan peraturan penyiaran Indonesia tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) tahun 2012 pasal 5, yang berkaitan pula dengan dasar bagi penyusunan Standar Program Siaran (SPS).

Selain pelanggaran siaran bermuatan kekerasan, pihaknya pun menemukan pelanggaran-pelanggaran lain. Tercatat, dari rekapitulasi yang mereka utarakan terdapat pula 19 kasus pelanggaran yang bermuatan seks, 25 kasus pelanggaran berkaitan dengan norma kesopanan dan kesusilaan.

Selain itu KPID Sumut mencatat terdapat empat kasus pelanggaran nilai-nilai kesukuan, agama dan ras, delapan kasus penggolongan program siaran, dua kasus pelanggaran terhadap bahasa, bendera dan lambang negara, satu kasus program kuis, dua kasus siaran lokal dan sistem stasiun jaringan serta delapan kasus pelanggaran berkaitan dengan perlindungan kepada orang dan kelompok masyarakat.

Sumber: Tribunnews

Jokowi sebut Solo sudah aman dari aksi teror


Wali Kota Solo, Joko Widodo memastikan Solo sudah aman dan tenang. Beberapa hari lalu Solo sempat mencekam karena terjadi serangkaian aksi teror. Saat ini kala Jokowi, masyarakat Solo sudah kembali beraktifitas.

"Sudah normal, di Solo sudah normal dan tenang. Masyarakat juga bekerja seperti biasa," kata Jokowi kepada wartawan saat acara halalbihalal bersama para pendukungnya, di Stadion Tenis Indor Senayan, Minggu (2/9).

Jokowi enggan berkomentar lebih lanjut terkait teror bom di Solo. Dia menjelaskan jika aksi teroris bisa terjadi di mana pun dan kapan saja.

"Itu urusan kepolisian. Kan bisa diatasi aparat, itu kan wilayahnya aparat. Yakin aparat bisa menyelesaikan itu," kata Jokowi.

Jokowi yang berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama maju sebagai pasangan Pilgub DKI Jakarta 2012-2017, yakin aksi teror di Solo tidak berpengaruh negatif pada pencalonannya.

"Tidak berpengaruh, dan tidak usah berprasangka," terangnya.

Tidak banyak yang dipersiapkan Jokowi untuk memenangkan Pilgub DKI Jakarta. Dia hanya akan menjaga kesehatan sebanyak-banyaknya. "Kalau saya akan banyak jaga kesehatan, gak ada strategi," tandasnya.