Senin, 28 Januari 2013

Pemerintah Filipina Mengonfirmasi Penembakan Mati WNI Anggota JI


Pemerintah Filipina memastikan bahwa pasukan pemerintah Filipina telah  berhasil “menetralisir” dua anggota Jamaah Islamiyah (JI) dalam dua kejadian terpisah di Mindanao tahun 2012 lalu. Keduanya adalah Sanusi dari Indonesia dan Noor Fikrie Kahar warga Malaysia.

Wakil Jubir Kepresidenan Abigal Valte menyebutkan, tewasnya dua orang itu mengirim pesan yang jelas kepada teroris asing bahwa Filipina bukan lagi tempat yang aman bagi mereka.

“Ini adalah keuntungan nyata dalam perjuangan kami melawan terorisme dan itu merupakan harapan kami bahwa ini akan menjadi sinyal ke pihak lain yang berpikiran bahwa mereka tidak bisa datang ke Filipina dan menggunakan negara kita sebagai safe heaven untuk menyebarkan aksi teror,” kata Valte sebagaimana dikutip detikcom dari media Filipina, Inquirer, Minggu (27/1/2013).

Sanusi terbunuh dalam adu tembak dengan Divisi Pertama AD Filipina di Kota Marawi pada 21 November 2012 setelah aparat menggerebek tempat persembunyiannya.

“Selama penggeledahan oleh polisi, ditemukan peralatan elektronik dan mata uang dalam jumlah besar di barang-barang pribadinya,” ujar Valte.

Pemerintah Indonesia tahun lalu meminta Filipina menangkap Sanusi. Sanusi kabur ke Mindanao karena terlibat dalam pembunuhan tiga orang di Poso, Sulawesi Tengah. Menurut pejabat intelijen Filipina, Sanusi dalam pelariannya membantu melatih para militan di Mindanao. 

Sumber: detikcom

Penculik Anak Artis Terkait Jaringan Teroris?

ilustrasi

Polda Metro Jaya mengandeng Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri untuk menyelidiki ada tidaknya kaitan antara pelaku penculikan Siti Nurjanah, anak tiri penyanyi dangdut Nassar, dengan jaringan teroris.

“Kami masih mendalaminya dan memeriksa karena pelaku baru ditangkap Sabtu (26/1/2013) pukul 03.30 WIB dini hari. Memang pelaku minta tebusan Rp4 miliar tapi belum tahu soal ada hubungannya dengan fai’ (pencarian dana untuk kegiatan teroris),” ujar Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol Putut Eko Bayuseno di Mapolda, Sabtu (26/1/2013).

Seperti diketahui, pelaku penculikan Nana (panggilan akrab Siti Nurjanah), sempat meminta tebusan sebesar Rp4 miliar kepada Nassar dan Muzdalifah.

Selain itu, saat pengeledahan rumah kontrakan pelaku, petugas juga menemukan bahan peledak, petunjuk tata cara pembuatan bom sederhana di dalam komputer jinjing (laptop) milik pelaku, dan buku jihad.

“bahan peledak yang ditemukan berupa potasium dan bahan dasar peledak,” lanjutnya.

Putut menambahkan, penyidik juga masih mendalami banyak ditemukannya barang bukti berupa kartu identitas yang berkisar belasan atas nama tersangka, baik KTP, Kartu Keluarga (KK) dan cap palsu Dinas Kependudukan, ada kemungkinan juga untuk menyimpan dana fai’ buat bikin rekening di bank. “Tapi ini semua perlu bukti yang dalam dan keterangan lebih lanjut,” tandasnya.

Siti Nurjanah alias Nana adalah putri Muzhalifah, istri pedangdut Nassar. Nana diculik di depan SDN 6 Tangerang, Banten, 17 Januari lalu. Anggota Polda Metro Jaya menemukan Nana di Jalan S. Parman, Narogong, Cileungsi, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (26/1) sekitar pukul 03.00 WIB. Penculik meminta tebusan sekitar Rp4 miliar sebelum akhirnya dicokok aparat.

Rabu, 23 Januari 2013

Kelompok Muslim Radikal di Indonesia Mirip Khawarij


Radikalisme agama masih menjadi tren beragama masyarakat Indonesia. Akhir tahun lalu misalnya, The Wahid Institute melaporkan kondisi kebebasan beragama dan toleransi 2012 yang masih memprihatinkan. Berbagai praktek diskriminasi, kekerasan dan pengrusakan yang didalangi kelompok agama tertentu masih mudah ditemukan di mana-mana.

Namun sejatinya fenomena radikalisme agama bukanlah hal baru. Menurut A’lai Najib, Dosen UIN Syarif Hidayatullah dalam sejarah kalam atau munculnya aliran/sekte-sekte dalam Islam benih-benih radikalisme Islam mulai tampak.

“Bagi saya radikalisme Islam benihnya sudah lama ada. Kalau melihat sejarah kalam misalnya, munculnya aliran/sekte-sekte dalam Islam. Siapapun yang belajar Islam pasti akan mengetehui ada Khawarij, Mu’tazilah, Jabariyyah, Qodariyyah dsb. Biasanya sejarah mencatat sejak peristiwa tahkim. Perang antara Ali dan Muawiyyah” ungkap A’lai Najib.

Khawarij kerap disebut-sebut sekte Islam yang begitu menyengat aroma radikalismenya. Pengkafiran terhadap sesama muslim dan bahkan penghalalal darah muslim di luar golongannya adalah hal lumrah bagi sekte yang merasa kecewa dengan arbitrase.

terangan men-declare, saya ini Khawarij, Mu’tazilah misalnya. kalau Ahlu Sunnah memang di sini tempatnya.

Dosen UIN Syarif Hidayatullah ini menambahkan meskipun di Indonesia kelompok muslim radikal tidak terang-terangan men-declare sebagai Khawarij, sikap dan aksinya sangat Khawarij. Misalnya bagaimana orang menyatakan di luar dirinya adalah salah, sesat dan bahkan sampai yang sangat ekstrim, halal darahnya. 

Terdakwa Teroris Aceh Menyesal dan Minta Maaf

Terdakwa teror Aceh 2011

Kamaruddin alias Mayor, terdakwa kasus teror di Aceh, menyatakan penyesalan yang mendalam sekaligus memohon maaf atas keterlibatannya dalam serangkaian peristiwa penembakan menjelang pemilihan Gubernur Nangro Aceh Darussalam pada tahun 2011 yang menelan sejumlah korban jiwa, terutama dari etnis Jawa.

“Apa yang kami lakukan adalah sebuah kelalaian. Namun, kelalaian yang telah menimbulkan korban jiwa. Dari hati yang paling dalam, kami dan keluarga mengucapkan permohonan maaf atas kejadian tersebut,” kata Mayor saat membacakan nota pembelaan pribadinya dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (21/1/2013).

Mayor menyadari telah khilaf dalam mengambil sebuah keputusan sehingga sangat berbahaya bagi nyawa orang lain. “Tapi apa yang harus kami katakan, semua telah terjadi. Dengan demikian, hanya penyesalan yang dapat kami sampaikan untuk mengungkap kesedihan kami atas apa yang telah kami lakukan,” sambungnya.

Bukan Terorisme

Ada yang unik dalam nota pledoi Mayor. Kepada majelis hakim yang diketuai Achmad Rosyidin, Mayor mengharapkan agar tidak diganjar dengan Undang-Undang Antiterorisme karena perbuatan yang dilakoninya bukan untuk tujuan terorisme. “Kami adalah muslim dan kami secara jelas mengutuk yang namanya teroris,” kata Mayor.

Ia berdalih, tindakan kekerasan yang mereka lakukan merupakan wujud dari kekecewaan dan sakit hati terhadap Gubernur Aceh Irwandi Yusuf yang mereka nilai telah mengkhianati perjuangan.

“Kalaupun perbuatan saya ini dianggap oleh majelis hakim sebagai terorisme lantaran dilakukan dengan menyiapkan senjata api, itu sangat  berlebihan. Hanya senjata itulah yang ada di otak kami. Hal ini mungkin terdorong oleh latar belakang kami sebagai mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka,” kata Mayor.

Ia juga menghimbau kepada pemerintah untuk menegakkan hukum secara maksimal di Aceh untuk menghapuskan jejak GAM.

“Apabila hal itu tidak dilakukan secara maksimal, maka kemungkinan akan terjadi hal-hal yang sama yang justru akan dilakukan oleh orang selain kami. Kami bukan satu-satunya mantan anggota GAM yang saat ini telah menyatu dengan Pemerintah Indonesia, namun kemungkinan masih banyak lagi yang masih ada dan menyatu dengan masyarakat Aceh itu sendiri,” lanjut Mayor.

Dari tujuh terdakwa, hanya Mayor dan M Rizal Mustakim alias Takim yang membacakan nota pembelaannya di dalam persidangan. Sementara terdakwa lainnya, Fikram alias Ayah Banta, Jamaluddin alias Dugok atau Mansyur alias Mancuk, Sulaiman alias Ulee Bara, Ushriah alias Ush cukup menyerahkan pembelaan tertulis.

Terdakwa lainnya M Rizal Mustakim alias Takim menyampaikan bahwa dirinya ditangkap karena telah mengantarkan sebuah batu asah kepada Jamaluddin alias Dugok yang sama sekali tidak ada kaitan apa pun dengan peristiwa ini.

Takim menyatakan dirinya tidak bersalah dan bukan pelaku atas tindakan orang lain.  Dengan suara tertahan, ia lalu memanjatkan doa kiranya Allah memberi azab kepada polisi dan jaksa atas penyiksaan yang ia terima.

Tim Kuasa Hukum Ayah Banta Cs dalam pembelaannya menolak bahwa tindakan Ayah Banta cs terkait dengan terorisme. “Sama sekali tidak ada kaitannya dengan terorisme. Sesuai fakta-fakta di persidangan bahwa tindakan mereka lebih sebagai tindakan pidana umum,” kata Maderahman Marasabessy, penasihat hukum terdakwa.

Maderahman membantah bahwa rangkaian penembakan menjelang pilkada tersebut sama sekali tidak menimbulkan rasa takut yang meluas di tengah masyarakat. “Hal ini terbukti dari pernyataan Kapolri, Menkopolhukam, Mendagri, Gubernur dan Kapolda Aceh bahwa pilkada berlangsung damai dan aman,” katanya.

Dengan demikian, menurut tim kuasa hukum, penembakan-penembakan tersebut, tidak menimbulkan suasana teror atau rasa takut yang meluas sebagaimana unsur yang diatur dalam Pasal 6 UU RI Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Majelis hakim akan memutus perkara tersebut dalam sidang pamungkas yang dijadwalkan pada hari Rabu (23/1/2013).

Sumber: tribunnews

Habib Lutfi: Nabi SAW Tak Pernah Mengislamkan dengan Pedang


Sampai saat ini masih ada kelompok Islam yang memahami bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kekerasan. Aksi-aksi radikalisme dan terorisme adalah salah satu fenomena yang memahami dengan cara seperti ini. Para radikalis dan teroris tidak bisa menerima kehadiran yang lain, yang berbeda, sedemikian hingga perbedaan harus diseragamkan dengan Islam a la mereka.

Para radikalis dan teroris memahami bahwa kekerasan dilegitimasi oleh Islam. Atas nama jihad mereka tidak segan-segan melakukan pengrusakan bahkan hingga tindakan yang menghilangkan nyawa.

Padahal dalam sejarah Islam, nabi Muhammad SAW memperjuangkan agama Allah tidak dengan kekerasan. Bahkan menurut Habib Luthfi Pekalongan, Nabi SAW tidak pernah mengislamkan seseorang dengan pedang.

“Apakah Nabi pernah mengislamkan seseorang dengan pedang? Tidak pernah! Saya baca hadis, tidak ada yang menyebutkan itu. Bahkan Nabi menjaga hak-hak ekonomi kaum Yahudi” ungkap Habib Luthfi.

Ia juga menghimbau agar umat Islam di Indonesia tidak terpengaruh dengan ajaran-ajaran radikal dan teroris. Justru menurutnya umat Islam Indonesia harus menguatkan rasa kebangsaan. 

Rabu, 16 Januari 2013

Tangkal Radikalisme-Terorisme, Pelajar Ikuti Pembinaan PAI


Sejak kasus bom di Hotel JW Marriot empat tahun silam, mulai terkuak strategi teroris yang mulai menyasar pada generasi muda. Anak-anak yang masih berusia dini ini akan diteroriskan dan selanjutnya tidak menutup kemungkinan dipinang menjadi martin bom bunuh diri.

Sebagai bentuk upaya preventif, Pondok Pesantren Asy-Syafi’iyyah bekerjasama dengan Direktorat Pendidikan Agama Islam Kemenag RI mengadakan pembinaan Pendidikan Agama Islam (PAI) untuk para pelajar tingkat menengah atas.

“Acara ini dilaksanakan sebagai upaya membentengi para pelajar dari radikalisme beragama, mengingat semakin merajalelanya ancaman tersebut mengincar generasi muda bangsa, diantara contoh nyata adalah baru-baru ini ada siswa SMK yang terlibat terorisme. Yang mana terorisme itu sendiri sering berawal akibat dari kekeliruan pemahaman keagamaan”, Kata Abdu Muiz Afandi, Ketua panitia pelaksana.

Menurut salah satu narasumber acara tersebut, Khamami Zada, para orang tua perlu selektif karena banyak yang terlibat ajaran terorisme dan radikalisme agama penampilan luarnya tidak mencurigakan, bersih dan menarik.

Generasi muda yang religius tidak mesti bermuara pada karakter radikal atau bahkan teroris. Islam adalah agama yang damai dan penuh dengan pesan-pesan etika adiluhung. Dalam konteks kebangsaan, menjadi muslim yang ideal adalah yang mampu merekonsiliasi antara keindonesiaan dan keislaman.

Radikalisme dan Terorisme Bukan Desas-Desus Belaka


Dalam tulisan yang dimuat di Suara-Islam.com ada yang berpendapat bahwa radikalisme dan terorisme adalah desas-desus belaka. Artinya pada dasarnya kedua konsep itu hanyalah isu belaka dan tidak dapat ditemui di dunia nyata. Bagi orang-orang seperti ini radikalisme dan terorisme hanyalah konspirasi untuk menyudutkan Islam. Pandangan semacan ini tentu sangat reduktif, non-logis dan ahistoris.

Sejatinya radikalisme dan terorisme bukanlah fenomena yang menjangkiti umat Islam semata. Itu ada di semua agama. Menurut Khofifah Indar Parawansa, radikalisme dan terorisme tidak didominasi satu agama saja. Setiap pengikut agama apapun pasti ada yang tertarik dan terpikat menjadi bagian kelompok garis keras.

Mengatakan bahwa radikalisme dan terorisme adalah gosip belaka juga merupakan pendapat yang ahistoris. Sejarah mencatat berbagai peristiwa radikalisme dan terorisme yang dimotivasi doktrin-doktrin agama. Bahkan dalam sejarah Islam sendiri muncul golongan Khawarij yang terkenal dengan pandangan-pandangan yang radikal karena identik dengan kekerasan.

Radikalisme dan terorisme jelas-jelas merupakan fakta. Jika belakangan kedua konsep ini dikaitkan dengan Islam bukan berarti bahwa ada sebuah upaya meminggirkan umat Islam, terlebih seperti yang dituduhkan dalam tulisan yang di muat Suara-Islam.com sebagai upaya mengeliminasi Islam sebagaimana mengeliminasi PKI.

Sebagai muslim, seharusnya radikalisme dan terorisme bisa menjadi pemantik untuk merefleksikan keberislaman kita semua. Bukan dijadikan sarana provokasi bahwa Islam sedang diserang. Munculnya corak keberislaman radikal dan teroris adalah tantangan bagi umat Islam untuk mempertanyakan kembali jati diri kemusliman kita masing-masing.

Dua Terdakwa Teroris Aceh Dituntut Seumur Hidup


Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum kasus teror Aceh, Iwan Setiawan MH, menuntut Fikram bin Hasbi alias Ayah Banta dan Kamaruddin alias Mayor dengan pidana penjara seumur hidup. Ayah Banta dan Mayor disebutkan sebagai otak dan pelaku utama dari serangkaian teror menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) awal Aceh 2012.

“Berdasarkan keterangan saksi dan alat bukti selama persidangan, keduanya adalah tokoh utama peristiwa penembakan tersebut dan telah menciptakan teror dan ketakutan masyarakat,” kata Jaksa Iwan Setiawan saat membacakan tuntutan dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (14/1).

Dia menyebutkan, Ayah Banta adalah “otak” dari serangkaian peristiwa teror tersebut, sedangkan Mayor adalah pelaku utamanya. Mayor kemudian merekrut sejumlah kawannya untuk menciptakan kekacauan di Aceh, yaitu Jamaluddin alias Dugok dan Mansyur alias Mancuk yang oleh jaksa keduanya diuntut masing-masing 20 tahun penjara.

Menurut jaksa, Ayah Banta juga memberikan dua pucuk senjata api AK-56 dan satu pucuk M16 kepada Mayor. Kedua senjata itulah yang digunakan untuk menembak orang-orang beretnis Jawa di perkebunan PT Setya Agung, Geureudong Pase, Aceh Utara. Senjata M16 juga digunakan Mayor bersama Dugok dan Mancuk untuk menembaki rumah Misbahul Munir, Wakil Ketua DPRK Aceh Utara.

Sementara itu, tiga terdakwa lainnya dalam persidangan terpisah, Sulaiman alias Ulee Bara, Ushriah alias Ush, dan M Rizal Mustakim alias Takim, dituntut masing-masing lima tahun penjara.

Jaksa dalam uraiannya menerangkan, peristiwa penembakan tersebut dilakukan dengan maksud menimbulkan suasana teror serta menciptakan ketakutan masyarakat, sehingga Aceh menjadi tidak aman menjelang Pilkada 2012.

Rangkaian kekerasan bersenjata api yang melibatkan Ayah Banta dan Mayor cs, menurut Jaksa Iwan Setiawan MH, mencakup banyak peristiwa. Di antaranya adalah penembakan buruh perkebunan PT Satya Agung di Kecamatan Geureudong Pase, Aceh Utara, pada 4 Desember 2011 yang menewaskan tiga orang. Semuanya beretnis Jawa.

Kemudian penembakan seorang penjaga toko Istana Boneka di Ulee Kareng, Banda Aceh, pada 31 Desember 2011. Korbannya juga beretnis Jawa.

Berikutnya, penembakan buruh bangunan asal Jawa di Bedeng atau Barak Aneuk Galong, Aceh Besar, pada 5 Januari 2012.

Peristiwa lainnya adalah penembakan rumah pribadi Wakil Ketua DPRK Aceh Utara, Misbahul Munir di Desa Keude Krueng, Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara.

Tak terkecuali penembakan Saiful Cagee (42) pada 22 Juli 2011. Mantan kombatan GAM yang pernah mengetuai KPA Wilayah Batee Iliek ini meninggal ditembak dengan tiga peluru di depan Warung Gurkha miliknya di Matanggeulumpang Dua, Bireuen.

Kelompok Ayah Banta, menurut jaksa, juga terlibat dalam pemasangan bom pipa di lintasan Gunung Geureutee, Aceh Besar, untuk meledakkan rombongan Gubernur Irwandi Yusuf yang hendak melintas dari Banda Aceh ke pantai barat Aceh. Tapi sebelum bom itu diledakkan, para pelaku sudah lebih dulu ditangkap Densus 88. 

Sumber: Tribunnews

Pemkab Toraja Waspadai Teroris Menjelang Pilgub Sulsel


Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tana Toraja mewaspadai peluang teroris menyusup ke wilayahnya menjelang pemilihan gubernur (Pilgub) Sulawesi Selatan.

Hal itu dilontarkan Bupati Tana Toraja saat rapat dengan para camat dan kepala desa/lurah se kabupaten Tana Toraja di ruang pola kantor bupati, Selasa(15/1/2013).

“Tujuh hari menjelang pemungutan suara Pilgub sulsel, kita harus tingkatkan kewaspadaan guna mewaspadai teroris menyusup  di wilayah Tana Toraja,” tegas Bupati Theofilus Allorerung.

Theofilus mengakui  teroris belum lama ini sempat mengancam wilayah Tana Toraja saat pelaksanaan puncak Lovely Desember dan rapat kerja Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI). Beruntung, aksi para teroris yang ingin mengacaukan stabilitas keamanan di Toraja bisa dicegah oleh aparat kepolisian.

Tidak menutup kemungkinan, teroris akan kembali mengancam Toraja dengan cara menyusup saat pemilihan gubernur mendatang. Menurutnya, model teroris dalam melaksanakan aksinya pun bermacam-macam untuk mengelabui masyarakat di sekitarnya. Teroris bisa saja menyamar menggunakan pakaian dinas PNS atau berkendaraan pelat merah hingga menyamar menjadi penduduk bisa agar mereka tidak ketahuan.

“Ancaman bom yang dilakukan teroris yang ditujukan kepada wilayah ini nyata dan bukan direkayasa. Jangan sampai  saat semua pihak sibuk berpolitik, peluang itu dimanfaatkan teroris melakukan aksi teror di Toraja,” jelasnya.

Bupati memerintahkan kepada seluruh camat, lurah dan kepada desa se-Tana Toraja untuk meningkatkan stabilitas keamanan di daerahnya masing-masing menjelang pilgub 2013. Para camat hingga kepala lingkungan/dusun diminta melaporkan orang-orang yang melakukan aktivitas mencurigakan ke aparat keamanan.

“Saya perintahkan kepada aparat pemerintahan mulai dari camat, lurah, kepala desa hingga kepela lingkungan agar lebih meningkatkan pengamanan di lingkungannya masing-masing. Jangan beri ruang bagi teroris yang ingin melakukan aksi teror di Toraja,” kata Theofilus.

Sementara itu Kapolres Tana Toraja, AKBP Yudi AB Sinlaelo yang hadir dalam rapat kerja tersebut juga mengaku Toraja salah satu daerah yang sempat menjadi sasaran teroris untuk melakukan aksi teror. Bahkan, ada beberapa tempat di Toraja yang sudah dipetakan para teroris untuk melakukan aksi teror.

Beruntung, sebelum tetoris melakukan aksi terornya di Toraja, Densus 88 dan aparat Polri berhasil menggagalkan upaya teroris masuk ke Toraja.

Kapolres pun mengimbau kepada semua masyarakat Toraja agar tetap waspada lantaran ancaman teroris bisa saja terjadi setiap saat. Semua masyarakat Toraja diminta untuk bersatu menjaga wilayahnya agar tetap aman dan kondusif.

“Teroris musuh kita bersama. Kita harus tetap bersatu melawan teroris dengan menjaga wilayah masing-masing. Kalau ada orang atau aktivitasnya mencurigakan, segera lapor ke polisi,” kata Yudi.

Sumber: sindonews

Rabu, 09 Januari 2013

Teroris Bima Mengincar Sentra Wisata NTB


Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Boy Rafli Amar mengungkapkan, jaringan teroris yang tertangkap di Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB) berencana melakukan aksi teror di hotel dan tempat wisata. Kepolisian menemukan bom siap ledak seberat sekitar 40-50 kilogram di Dompu.

“Dari hasil pemeriksaan, unsur sasaran ditujukan untuk tempat wisata di Bima, NTB. Di Bima salah satu sasaran yang baru terungkap adalah sebuah hotel, tapi belum spesifik dapat disebutkan,” ujar Boy di Jakarta, Selasa (8/1/2012).

Boy mengatakan, bom tersebut disembunyikan kelompok teror itu di sebuah kebun. Kebun tersebut diketahui menjadi tempat latihan. “Di situ dijadikan tempat pelatihan dan kegiatan perakitan bom,” terang Boy.

Seperti diberitakan sebelumnya, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri meringkus 11 terduga teroris di Makassar dan Dompu pada 4-5 Januari 2012. Sebanyak tujuh diantaranya tewas ditembak, yakni dua orang tewas di Makassar dan lima lainnya tewas di Dompu.

Pertama, Syamsudin HG alias Asmar alias Abu Uswah dan Ahmad Khalil alias Hasan alias Kholid terpaksa ditembak saat berusaha ditangkap di halaman Masjid Nurul Afiat yang berada di RS Wahidin Sudirohusodo, Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (4/1/2013). Saat penangkapan tersebut, polisi menyita dua senjata api jenis FN dan granat manggis.

Keduanya juga diduga terkait jaringan Poso. Diantaranya membantu buronan teroris Santoso ketika berada di Sulawesi Selatan dan terlibat aksi teror di Poso.

Kemudian, pukul 14.00 Densus meringkus Thamrin dan Arbain di Pasar Daya Makassar.  Setelah itu, Densus meringkus syarifudin dan fadli pukul 18.30. Sementara di Dompu, polisi menangkap lima terduga teroris. Kelimanya terpaksa ditembak dan tewas karena mencoba melawan saat penangkapan.

Empat teroris yang ditembak di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), sasarannya bukan tempat wisata. Melainkan rumah ibadah dan kantor polisi yang berada di Tana Toraja.

Sedangkan di Dompu, NTB, Jumat (4/1), Densus menembak mati dua teroris bernama Roy dan Bachtiar. Keduanya melawan petugas saat akan ditangkap. Pengejaran terus berlanjut, keesokan harinya, tiga orang teroris ditembak mati di Kebon Kacang, Kelurahan Kandai, Dompu, NTB. Dari tiga orang yang tewas ini, satu sudah teridentifikasi atas nama Andi.

NTB adalah destinasi wisata yang semakin naik pamornya menyaingi Bali. Wisatawan lokal dan mancanegara menjadikan aneka tempat liburan di NTB sebagai tujuan traveling mereka setiap tahun.

Tempat favorit wisatawan di NTB tentu saja adalah Pulau Lombok dengan tiga gilinya yang terkenal indah. Sumbawa terkenal dengan pemandangan alam dan kudanya. Sementara di Narmada, Lombok Barat ada Pura Lingsar dan Taman Narmada yang cantik.

Teroris Nggak Ngukur Diri


Pada awal dasawarsa tahun 2000, kala aksi teror bom mulai marak di pelbagai kota di Indonesia, motif besar para pelaku dan dalangnya adalah melawan hegemoni Barat yang bercokol di bumi pertiwi. Hal ini misalnya terungkap dalam pernyataan para dalang teror Bom Bali I yang kini telah terkubur di liang lahat, seperti Imam Samudra, Amrozi, dan Ali Ghufron alias Mukhlas.
Dalam beberapa kali persidangan, ketiganya menegaskan bahwa aksinya adalah jihad perang melawan Amerika Serikat dan sekutunya yang bertindak lalim terhadap Negara-negara berpenduduk mayoritas muslim seperti Palestina, Irak, dan Afghanistan.
Tak ayal, target serangan mereka adalah simbol-simbol Barat (seperti Hotel JW Marriot, Kedubes Australia, dan Amerika Serikat), atau lokasi di mana banyak warga negara Amerika Serikat dan sekutunya berada seperti Pulau Bali.
Bagi orang waras, perlawanan dalam bentuk teror merupakan kesia-siaan belaka. Hegemoni Barat di Indonesia adalah di bidang ekonomi dan budaya, bukan invasi militer. Jadi bukan tempatnya melakukan perlawanan fisik. Lebih dari itu, jika memang hendak melakukan revolusi fisik, seberapa besar kekuatan dan amunisi yang mereka miliki? Pasti tidak signifikan kekuatannya.
Inilah yang menurut KH. Sholahuddin Wahid, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur, kelompok teroris tidak mengukur “diri” alias tidak menakar kemampuan.
“Keinginan para teroris di Indonesia adalah menyerang Amerika Serikat dan sekutunya. Namun mereka nggak mengukur badan. Melawan Barat kok dengan cara seperti itu. Apalagi lantas mengebom di sini, kemudian yang jadi korban juga orang Indonesia sendiri, muslim pula,” ungkap mantan Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) itu kepada Lazuardi Birru.
Jika menilik realitas mutakhir saat tulisan ini dibuat, di mana kelompok teror Poso yang dipimpin oleh Santoso alias Abu Wardah, pada pertengahan Oktober 2012 melayangkan surat tantangan perang kepada Tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri, tentu pendapat Gus Solah, sapaan akrab KH. Sholahuddin Wahid, benar.
Membandingkan kekuatan Polri dengan kelompok teror tentu tidak adil karena jelas tak seimbang. Namun dengan pongahnya kelompok teror menantang korps bhayangkara itu.